Suasana dalam.konfresi pers
Metronewsnttt.com, Kupang---Solidaritas Anti Kekerasan dan Diskriminasi Terhadap Kelompok Minoritas dan Rentan (SAKSIMINOR) mengutuk keras kasus kejahatan seksual terhadap anak yang dilakukan oleh Eks Kapolres Ngada-NTT, AKBP Fajar Widyadharma Lukman.
Terrkuak kasus tersebut ke publik saat kejahatannya terbongkar oleh Kepolisian Federal Australia (Australian Federal Police/AFP). Temuan tersebut kemudian diinformasikan kepada pihak Indonesia lewat Divisi Hubungan Internasional (Hubinter) Polri pada 22 Januari 2025, yang diteruskan ke Polda NTT, SAKSIMINOR yang terdiri dari 28 elemen yakni organisasi mahasiswa, LSM, Organisasi Media dan Lembaga Hukum mengecam keras akan kasus tersebut melaluimpenyatana sikap yang disampaikan secara resmi melalui konfresinpers yang digelar, Kamis (20/3/2025) di Kantor PKBI NTT.
Mereka menilaib Kepolisian Republik Indonesia seharusnya menjadi garda terdepan untuk melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat, bukan sebaliknya anggota bahkan seorang pimpinan Aparat Kepolisian menjadi pelaku kejahatan seksual. Tindakan keji ini merupakan pengkhianatan terhadap kepercayaan publik dan prinsip perlindungan hukum bagi perempuan dan anak. Kejahatan seksual ini merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime), yang harus ditangani secara extraordinary.
Solidaritas Anti Kekerasan dan Diskriminasi Terhadap Kelompok Minoritas dan Rentan (SAKSIMINOR) mengutuk keras kasus ini. Kami menyatakan sikap:
1. Memberikan perlindungan penuh kepada korban dan keluarga selama proses hukum dan proses pemulihan berlangsung, termasuk perlindungan dari intimidasi, ancaman, atau dampak psikososial lebih lanjut akibat kasus ini.
2. Pemenuhan hak-hak korban dan keluarga atas pemulihan psikologi, sosial, kesehatan dan hak atas restitusi sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual
3. Negara segera membuka saluran pengaduan aman yang melibatkan Komnas Perempuan, Komnas HAM, Komnas Perlinduangan Anak, Lembaga Perlindungan Saksi Korban, Lembaga Layanan Perempuan dan anak di NTT, Lembaga Agama, mengingat trend kasus kejahatan seksual memungkinkan adanya korban lain yang belum berani bersuara.
4. Kami menuntut agar saksi korban "F" mendapatkan pendampingan dari Lembaga Pendamping korban dan/atau LBH selama proses hukun berlangsung guna memastikan hak-haknya terpenuhi. Selain itu kami menekankan bahwa dalam proses hukum pada kasus ini Saksi/ Korban "F" harus memberikan kesaksian tanpa intimidasi, sesuai amanat Pedoman Kejaksaan Nomor 1 Tahun 2021 Tentang akses keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana, dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Penanganan Perempuan Berhadapan Dengan Hukum.
5. Kami mendukung Keputusan Sidang Komisi Kode Etik Polri yang menjatuhkan sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) kepada mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widya Dharma Lukman Sumaatmaja. Berdasarkan keputusan tersebut. Kapolri wajib menolak upaya banding yang dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada Institusi Polri dan penghormatan terhadap rasa keadilan korban
6. Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan wajib menerapkan Pasal berlapis, menjatuhkan hukuman maksimal dengan pemberatan, menggunakan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak; Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual; Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana dirubah dengan Undang Undang Nomor 19 Tahun 2016 dan Perubahan Kedua Pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi.
7. Kepolisian harus transparan dalam proses penyidikan kasus ini dan menyampaikan ke publik dengan mengedepankan prinsip-prinsip penghargaan dan perlinduangan korban.
8. Kepolisian tidak mengeluarkan pernyataan yang menggiring opini publik untuk membangun alasan pemaaf bagi pelaku. Setiap pernyataan yang menguntungkan pelaku adalah bentuk pengkhianatan terhadap keadilan bagi korban.
9. Kepolisian mengusut tuntas keterlibatan pelaku lain, jaringan pornografi, Perdagangan Orang dan melakukan patroli cyber secara intens, menghapus jejak digital untuk perlindungan korban demi percepatan pemulihan. Melacak transaksi elektronik pelaku, termasuk aliran dana yang diduga berkaitan dengan kejahatan ini melalui rekening dan perangkat seluler pelaku, sebagaimana diatur dalam UU TPKS.
10. Pemerintah segera menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Penghapusan Dokumen Elektronik Bermuatan Pornografi Anak, sebagaimana diamanatkan dalam UU TPKS.
11. Mendukung kerja-kerja insan pers mempublikasi kasus ini sebagai bagian dari salah satu fungsi pers melakukan kontrol. Insan pers agar tunduk dan taat pada
a) Peraturan Dewan Pers Nomor 6/PeraturanDP/V/2008 Tentang Kode Etik Jurnalistik, Pasal 5 menyatakan Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan
b) Peraturan Dewan Pers Nomor | Tahun 2019 tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA), Pasal 19 yang menyatakan identitas anak, anak korban, dan/atau anak saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak atau elektronik. Identitas anak meliputi nama, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri anak
12. Masyarakat harus mengawal proses penegakan hukum dan memberikan dukungan kepada korban dan keluarga dalam memperjuangkan keadilan dan mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan. (mnt)