Pose bersama
Metronewsntt.com, Oelamasi- Bicara soal masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak tentunya yang paling utama adalah proses penanganan secara hukum bagi si pelaku dan korban.
Oleh karena itu masih dalam momentum kampanye 16 Hari Kekerasan Terhadap Perempuan ( HAKTP ), Sanggar Suara Perempuan Kupang atau yang biasa dikenal dengana Rumah Perempuan Kupang, kembali melakukan sebuah dialog.
Dialog kali ini yang dilakukan Sanggar Suara Perempuan Kupang bersama lembaga hukum terkait penerapan perperpektif gender guna adanyaa satu kesamaan nantinya dalam penerapan perperpektif gender bertempat di Kantor Rumah Perempuan Kupang tepatnya di Jln Timor Raya KM 13 Tarus Desa Mata Air Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, Jumat (2/12).
Adapun tujuan dari kegiatan tersebut dapat mingkatkan kualitas layanan dan sinergisitas APH, Pengacara dan Lembaga Layanan dalam penanganan kasus Kekerasn Terhadap Perempuan (KTP) dan Kekerasan Teehadap Anak (KTA) yang berprespektif gender.
Dialog iini menghadirkan para narasumber diantaranya Kanit PPA POLDA NTT dengan materi “Mekanisme dan tantangan Penanganan kasus Kekerasan terhadap anak oleh POLDA NTT, Wakil Ketua Pengadilan Negeri Olemasi dengan materi Mekanisme dan tantangan Penanganan kasus kekerasan terhadap Perempuan dan anak dalam Perpektif gender oleh Pengadilan Negeri Oelamasi, dan Pusat Layanan HAM dan Gender UNWIRA Kupang dengan materi “Catatan Kritis Regulasi Penanganan kasus Berperpektif Gender dalam Perpektif Hukum.
Dalam kegiatan para peserta yang hadir terdiri dari APH yaknk Kepolisian, Jaksa dan Hakim, serta Lembaga Layanan dan Komunitas.
Ketua Lembaga Rumah Perempuan dalam sambutannya mengatakan, kekerasan terhadap perempuan adalah Setiap perbuatan berdasarkan perbedaan jenis kelamin, yang berakibat atau mungkin berakibat Kesengsaraan atau Penderitaan perempuan, secara fisik, seksual, psikologis, ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan dan perampasan kemerdekaan yang terjadi di rana publik dan rana domestik. Salah satu penyebab munculnya kekerasan karena timpangnya relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan. Perempuan dan anak merupakan kelompok paling rentan sebagai korban.
"Banyak faktor yang melatarbelakangi langgengnya kekerasan terhadap perempuan adalah masih menguatnya budaya patriarki yang terinternalisasi didalam nilai, norma dan aturan yang ada di tengah masyarakat. Data pendampingan SSP Kupang dalam dalam 20 tahun terakhir yakni tahun 2000 sampai 2021 terdapat 4.528 kasus kekerasan berbasis gender yang didampingi.Data ini tentu saja bukan merupakan representase dari jumlah kasus yang terjadi terhadap perempuan karena kekerasan terhadap perempuan ibarat fenomena gunung es."uangkapnya.
Menurutnya, dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak ini yang melibatkan multi pihak ini menjadi penting untuk terus didorong agar memiliki perspektif gender terutama dalam aparat penegah hukum yang selama ini menjadi salah satu faktor penentu dalam penanganan kasus melalui jalur hukum.
Untuk diharapkan dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi penting memberikan rasa empati dan nyaman bagi korban.
" Melalui kegiatan ini entunya hasil yang diharapkan peserta memiliki memiliki persepsi yang sama dalam dalam penanganan kasus KTP/KTA yang berprespektif gender." katanya.(mnt)