Oleh: Vinsens Al Hayon
(Untuk kita renungkan)
Metronewsntt.com. -TERRULIS dalam Surat Sint Paul kepada jemaat di Korintus: 1 Kor. 10:5-6; pernyataan ini: “… Allah tidak berkenan kepada bagian yang terbesar dari mereka, karena mereka ditewaskan di padang gurun. Semuanya ini telah terjadi sebagai contoh bagi kita untuk memperingatkan kita, supaya jangan kita MENGINGINKAN HAL-HAL YANG JAHAT seperti yang telah mereka perbuat.”
Kutipan di atas mengingatkan kita pada kisah lama berkaitan dengan persoalan besar dalam kehidupan manusia pada masa-masa awal, di kala relasi manusia dengan penciptaNya sangat akrab. Dalam keakraban sedemikian itu, terekam realita hidup manusia yang tidak bebas dari persoalan hidup.
Persoalan hidup terus hadir dan mewarnai kehidupan manusia di alam ini. Disinyalir, bahwa sampai dekade sebelum sekarang ini, tersurat tiga masalah besar yang selalu ada dipuncak daftar kehidupan manusia, yakni (1) Masalah Kelaparan, (2) Masalah Wabah (penyakit, virus) dan (3) Perang.
Kemudian dari generasi ke generasi dan demi eksistensi generasi, manusia sudah terus berdoa kepada tuhan, malaekat dan santa dan telah menemukan tak terhitung alat, institusi, dan sistem sosial untuk mengeliminasikan, mengatasinya, tetapi manusia terus mati dalam jumlah jutaan akibat kelaparan, epidemik dan kekerasan (perang), ungkap Noah Harari dalam bukunya Homo Deus (2018).
Lalu para pemikir dan nabi menyimpulkan bahwa itu semua adalah rencana kosmis Tuhan atau karena alam kita yang belum sempurna sehingga dunia huni kita belum terbebas dari semua itu.
Atas tiga masalah itu, naluri, kecendrungan, keinginan dipicu. Manusia butuh hidup dan harus BERBUAT sesuatu untuk kehidupan. Lambat laun atas kemajuan sains, bioteknologi, teknologi komunikasi, ketiga masalah yang ada pada puncak daftar kehidupan manusia dapat diatasi walau serangan secara sporadis masih dialami.
Kemampuan dan kehebatan manusia yang sudah terukur di atas menggelitik sifat manusia yang tidak pernah puas. Ia mau menikmati hidup yang ia jalani.
Dalam rentang sekian dekade, di jaman kapitalis, di jaman modern, abad 20 dan post modern, abad 21, hadir dan merajalelah tiga keinginan besar manusia yang sungguh manusiawi, yakni (1) kuasa, (2) harta dan (3) seks. Data memberi bukti dan fakta sahih mendokumentasikan, bahwa tiga hal itu ada juga pada puncak daftar perilaku manusia.
zaman ini, era milineal, era digital, dicatat oleh Noah Harari, sang sejarawan, bahwa ada juga tiga orientasi hidup, tendensi, keinginan manusia, yakni; (1) Imortalitas, (2) Kebahagiaan, dan (3) Keilahian.
Tedensi ketiga di atas mengandung makna, bahwa seseorang atau manuasia itu ingin menjadi dewa, mengubah eksistensi dirinya dari “homo sapiens” menjadi “homo deus” (manusia yang bijak, berakal budi, hati nurani dan ingin menjadi dewa/tuhan = penguasa atas sesama, dan dapat menentukan hidup-mati untuk diri orang lain).
Tesis terakhir itu bergulir sangat deras pada level kehidupan “kalangan atas”. Tendensi menguasai atas sesama mencuat amat tajam, bahkan ia bisa memastikan sesuatu untuk dirinya dan orang lain.
Hari ini, untuk kehidupannya, ia dapat menentukan mau “makan apa.” Hari besok, untuk kesenanganya ia dengan mudah memastikan untuk “makan dimana.” Dan pada puncak kekuasaanya ia dapat memastikan “makan siapa.”
Atas realitas zaman demikian, nilai aplikatif isi surat di atas sangat menanti respon bijaksana manusia sekarang, siapa pun dia. Manusia tetap diberi kesempatan dan ruang untuk “Menakar Keinginan”, kecendrungan dan orientasi hidupnya.
Kemana arah hidupnya?
Kini hadir pertanyaan: :Mungkinkah isi surat di atas dapat dijadikan rujukan, sekaligus genderang peringatan yang bertalu-talu datangnya pada sipa pun? *