WhatsApp Facebook Google+ Twitter BBM

“DUNIA” MASIH MENCARI “THE BLESSING KID”

Metronewsntt.com 26-07-2021 || 12:10:57

Vinsens Al Hayon

(Refleksi Menanti Providentia Dei)

Metronewsntt.com. SAMPAI detik ini, banyak di antara “warga” dunia masih mencari dan bertanya-tanya, “siapa The blessing Kid, atau anak yang terberkati? Empat penulis kawakan dalam kitab-kitab berkisah menarik tentang “anak” itu. Kisah itu seperti tidak lekang dimangsa waktu. Bahkan para pencari fakta terus mengidentifikasi siapa namanya, kedua orang tuanya, latar kerja mereka, status sosial mereka dan apa partai politik yang mereka sokong kala itu.

Kisahnya bermula dari kesediaan si “anak” membantu emaknya membelikan roti jelai dan ikan di pasar dekat danau untuk makan siang mereka. Setelah mengantongi beberapa peser duit yang dikasih emaknya, si “anak” bergegas pergi dengan semangat. 


Teriakan pesan si emak, “Ingatlah nak, setelah membeli, segeralah pulang!” Tambahannya, “Jangan berlama-lama atau bermain!” “Ya, emak”, jawab si “anak”, dan secepat lekas menjauh dari pandangan si emak. Tibalah si “anak” di kedai yang berjarak sepelempar batu dari rumahnya. Di kedai itu ada roti jelai dan ikan yang dijaja. Si “anak” membelinya di situ.

Ia mengurungkan niatnya tidak membeli di pasar dekat danau. Karena ada kerumunan orang. Jumlah mereka kira-kira 5000 laki-laki, tidak terhitung perempuan dan anak-anak yang memadati jalan. Kerumunan itu bagai hadir dalam kampanye politik pemilihan pemimpin baru. Mereka kemudian berbondong-bondong mengikuti calon pemimpin baru, yang dikenal dengan nama “Sang Nabi.” Ia digadang-gadang jadi pemimpin bangsa, demikian bisik-bisik anak dewasa yang ikut serta. “Mari! kita ikut serta melihat Dia,” teriak anak-anak sebaya. “Juga dengarkan Dia,” imbuh beberapa orang tua dalam kerumunan. 


Si “anak” lupa sudah pesan ibu. Seluruh perhatiannya tercurah kepada ajakan anak sebaya. Dalam bondongan, mereka membicarakan Dia –Sang Nabi dan segala kehebatannya. Ia berbelas kasih, empati dengan rakyat kecil dan siap jadi pembebas. Sesampainya si “anak” dan rombongan itu di tempat Sang Nabi, mereka terpukau pada kata-kataNya dan praktek penyembuhanNya sampai lupa pulang kala hari jelang malam. 


Ketika perhatian mereka pada Sang Nabi jeda sejenak, rasa lapar menyerang semua yang hadir. Dimaklumi keadaan ini karena sejak pagi mereka berjubel mengikuti Sang Nabi dan mendengarkanNya sepanjang siang. Para pengikut Sang Nabi tak sanggup memenuhi tuntutan perut para rombongan yang hadir. “Roti seharga 200 dinar (misalnya = 200 juta rupiah) tidak akan cukup, sekalipun masing-masing mendapat sepotong kecil saja,” keluh Filipus, orang dekat Sang Nabi. Lagi pula tempat ini sunyi, jauh dari kedai dan pasar dekat danau.


“Nabi!” di sini, ada si “anak” membawa lima roti jelai dan dua ikan, teriak Andreas. Andreas juga orang dekat Sang Nabi. Tawar menawar pun terjadi. Si “anak” teringat pesan si emak saat kejadian ini. Ia jadi sedih karena hasratnya ingin melihat Sang Nabi sehingga harus tinggalkan si emak dalam keadaan lapar menantinya pulang ke rumah. Mungkin si “anak” jengkel berada di tempat kejadian itu. Ia juga ingin mempertahankan miliknya atau menolak memberi tetapi karena Andreas yang kekar dan atas daya pikat Sang Nabi, lalu ia memberi juga. Jangan tanyakan soal rela memberi atau soal pemberian sebagai persembahan. 


Beribu perasaan beraduk satu dalam diri si “anak” tatkala Andreas mengambil roti dan ikan beliannya. Ia hanya menatap serius bawaanya dihantar dan diterima Sang Nabi. Nabi berdoa lalu menyuruh orang-orangNya membagikan kepada semua yang duduk dalam kelompok-kelompok. Semua mereka makan sampai kenyang. 


Walau kenyang tapi perasaan si “anak” sedih. Ia tertunduk dan memikirkan emaknya dan juga perilakunya. Saat mengangkat muka, ia terperangah. Sang Nabi, Andreas, Filipus dan juga ke sepuluh orang dekat Sang Nabi berdiri mengelilingnya. Masing-masing di tangan mereka memegang sebakul roti. Sang Nabi berkata, “ambilah dan bawahlah ke 12 bakul roti ini untuk emak dan semua anggota keluarga dan juga tetanggamu.”


Ketika di rumah, si “anak” menceritakan kembali semua kejadian yang ia alami. Emaknya kagum mendengarkan dan mengucapkan terima kasih kepada Sang Nabi dan orang-orang dekatNya. Emak juga punya cerita, “saat aku merasa lapar, ada yang datang kemari menghantarkan aku roti jelai dan ikan dan mengabarkan bahwa si “anak” ikut dalam rombongan untuk mendengarkan Sang Nabi dan menyaksikan perbuatanNya. Aku bahagia dan bersyukur.


Solider dan Berbagi 


Ajaib kisah yang ditulis empat penulis kawakan itu. Soal yang ditampilkan adalah persoalan manusiawi. Manusia memiliki semua rasa dalam hidupnya, termasuk rasa ingin berjumpa, mendengarkan Sang Nabi dan menyaksikan perbuatanNya. Sang Nabi sungguh memaklumi semua rasa manusiawi kita sebagaimana berjuta rasa si “anak” yang beraduk satu dalam dirinya. 


Sang Nabi datang kepada si “anak” dan mengatasi semua rasa itu. Ia memberikan kejutan dan keajaiban. Bahkan semua yang terasa hilang. Ia membalas dengan memberi lebih banyak, lebih dari cukup. Ia mengajarkan solidaritas dan hidup berbagi. “Dengan memberi, menerima,” ini prinsip hidup. Hal ini sama dengan hukum alam yang mengajarkan, bahwa “berbuat satu kebaikan, akan menuai berlipat kebaikan.”


Yakin kita, bahwa semua kejadian si “anak” dan emaknya ada dalam “providentia Dei” (Penyelenggaraan Ilahi). Sang Nabi bagai melukiskan setiap rencanaNya dalam telapak tangan si “anak” dan emaknya. Agar apa yang dialami mereka bukanlah hal yang buruk melainkan hal-hal yang membawa kebaikan dan damai sejahtera. Sang Nabi senantiasa menjaga dengan kuasaNya agar tidak ada yang mencuri berkat si “anak” dan emaknya. Situsi si “anak” dan emaknya berada dalam rencana Sang Nabi. Si “anak” menjadi “the Blessing Kid.”


Bagaimana situasi kita saat ini? Kita dan corona virus-19 masih berjalan berbarengan. Yakinkah kita, bahwa semuanya ini adalah Providentia Dei? Ya, tegasnya, semua kejadian kita tidak satupun ada di luar lingkaran Allah- Sang Nabi. Katakan saja, situasi kita begitu buruk, namun Sang Nabi senantiasa menyertai kita dengan kekuatan untuk menghadapinya, bahkan memberikan jalan keluar untuk mengatasi persoalan yang terasa semakin membeku ini. 


AjaranNya, dalam situasi yang serba terancam oleh corona virus ini, sikap solidaritas dan saling berbagi tetap kita realisasikan. Dengannya belas kasihan Sang Nabi selalu beserta dan bersama kita. Ia berada di depan kita untuk memberi kekuatan dan di tengah kita, untuk menganugerahkan damai sejahtera serta di belakang kita, untuk mengawasi dan menjaga kita. Ia juga akan menjadikan segala sesuatu indah pada waktunya.


Mari kita di masa pandemi covid-19 ini, siap “memberi” seperti si “Blessing Kid.” Bersikap “solider” seperti yang dilakukan Sang Nabi dan membangun sikap “berbagi” sebagaimana niat si emak. Biarkan semakin banyak orang mengalami belas kasih dan merasakan kebaikan dari kita. Kiranya lebih patut kita mewarisi sikap si “Belssing Kid” dan emaknya dari pada seperti “dunia” yang terus berniat mencari “siapa the Blessing Kid” itu. Kita patut mentaati orang tua (= segala aturan yang ditegakkan), siap memberi dari apa yang kita miliki untuk kesejahteraan bersama dan siap berbagi dengan sesama sebagai tanda syukur kita kepada Sang Nabi, terlebih di masa-masa sulit ini. ***

 

 


Baca juga :

Related Post