Vinsens Al Hayon
(Refleksi atas “Caritas Dei Urget Nos”)
Metronewsntt.com. KAMI bersaudara karena seasal kota. Suatu kesempatan kami berjumpa di kota suci, pusat perhimpunan peziara-peziara dari berbagai pelosok kota dan negeri. Suasana kota riuh dan gegap gempita. Para penjemput tamu hilir mudik. Barikade tentara berjaga-jaga. Para pedagang sibuk menjajakan hewan-ternak korban. Ada penukar uang bercorong di mulut, terus berteriak. Suaranya sangat berisik. Banyak pejabat dan tuan-tuan besar dengan jubah panjang berjalan mondar-mandir di pelataran kuil suci yang besar dan tinggi megah. Sementara orang-orang istana duduk bersantai di gazebo.
Kami mengunjungi area tempat berkumpul para orator. Latarku orang biasa sehingga tidak paham akan semua pidato yang terlalu filosofis. Akhirnya kuajak kedua saudara seasal kota bergeser ke area dekat mesbah korban persembahan. Di sana berkumpul para rabi, ahli kitab, para penatua agama dan pengkotbah. Seorang dari mereka naik ke pentas dan menjelaskan tentang arti kehidupan, dan mengulas tuntas perilaku hidup. Ia juga memaparkan isi kitab-kitab dan merujuk pada ucapan nabi.
Bisik peziara di samping kami, “dia itu pengkotbah dan ahli kitab.” Dengar dia bicara, “Celakalah orang yang menyembunyikan rancangannya terhadap Tuhan. Yang pekerjaan-pekerjaannya terjadi dalam gelap. Mereka seperti menaru bara di atas kepala sendiri dan menabur angin ke alam hidupnya. Lalu menuai badai yang melenyapkan hidupnya".
“Yang berjalan di jalan Allah, akan berjumpa, Imanuel.” Ia tidak menghakimi dengan sekilas pandang saja, tetapi dengan keadilan. Atau menjatuhkan putusan menurut kata orang. Dia penebus bangsa dan setara maha pengampun. Panjang sabar dan penuh kasih setia.” Ia sayang kepada mereka yang taat pada kehendakNya.”
Semua yang hadir kagum akan kotbah itu. Aku juga, walau aku bukan dari keluarga pelayan di kenisah. Setelah usai berkhotbah, naiklah ke podium seorang “Pengkotbah Muda.” Dengan tatapan lembut ia memandangi seluruh hadirin, lalu mulai bicara tentang “hidup kekal.” Semua yang hadir terpesona. Ada beberapa yang ajukan pertanyaan. Ia menjawab dengan wibawa dan jawabanNya mengubah hidup si penanya.
Salah satu saudara sekota asal mencoba peruntungannya. Ia bertanya, “Guru, perbuatan baik apakah yang harus aku lakukan untuk memperoleh hidup kekal?” Sang “Pengkotbah Muda” tersenyum dan memandang tajam ke lubuk hatinya. Ia jeli membaca pikiran saudaraku itu, dan seperti meniupkan angin surga ke dataran hatinya, Ia berujar, “Aku tahu, engkau sudah melakukan seluruh perintah Allah.”
Engkau melakukannya tidak hanya karena engkau seorang pemimpin maskapai dagang kesohor di kotamu tetapi juga karena engkau percaya pada ajaran nabi. Walau demikian, “ada satu yang kurang dan belum engkau lakukan,” yakni “Jika engkau hendak sempurna dalam hidupmu dan peroleh hidup kekal, pergi dan jualah segala harta milikmu dan berilah kepada orang-orang miskin dan sesudah itu, ikutilah Aku.”
Mendengar paparan “Pengkhotbah Muda,” saudaraku tersentak jiwanya. Ia sontak menaikan bahunya, tanda menolak keras anjuran itu. Wajahnya merah padam. Ia tidak sependapat dengan cara pikir demikian. Tanpa menyanggah sepata kata, ia kemudian keluar dari kerumunan dan berjalan pergi meninggalkan aku dan saudaraku yang lain. Ia tidak menole jua dan “Pengkhobah Muda” mengiringi kepergiannya dengan kata-kata ini, “Lebih mudah seekor unta masuk melalui lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah.”
Ucapan terakhir “Pengkhobah Muda” itu terus menghantui perjalanan pulang kami, bahkan menjadi sulit mencerna maknanya dalam pergumulan hidup harian kami. Tidak tahu, saudara kami yang kaya itu. Mungkin dia bisa mencernanya. Tetapi di mana dia? Keberadaannya menjadi tanya kami saban hari, bahkan semua nasabah dagang dan kurir maskapai. Apakah ini karena sabda tegas Sang “Pengkhotbah Muda” itu? Ia bagai menepi dari keramaian. Aku ingat sekarang, bahwa “Setiap jawabanNya mengubah hidup si penanya.”
Hanya Karena “Caritas Dei”
Peristiwa kota suci telah terjadi dalam hidup dan menjadi pengalaman spesial bagi ketiga saudara sekota asal.Bagi saudara yang kaya itu, pasti terasa aneh. Walaupun peristiwa itu tidak sangkah datangnya dan mungkin dapat juga sekejap menghilang, kenangannya tetap tinggal bertahun-tahun dari angkatan ke angkatan.
Bagi saudara yang kaya, pengalaman berjumpa dan bertanya merupakan peristiwa besar. Peristiwa yang penuh pergolakan pikiran, bathin, sangat komplek dan dilematis. Ia menuntut tidak sekedar keputusan dengan keberanian tetapi pengorbanan total. Bagi pikiran sempit dan tidak luas dataran hatinya, ini bukan “persitiwa mukjisat.” Sedangkan bagi kedua saudara lain seasal kota, kisah kota suci dan peristiwa itu telah menjadi permenungan sepanjang hidup, dan turun temurun.
Saudara yang kaya dan “Pengkhotbah Muda” atau “Sang Peristiwa” dapat menghadirkan mukjisat luar biasa, bila ada kesinambungan paham dan hati antara keduanya. Mukjisat dapat terjadi untuk kami dan semua hadirin. Tetapi apa mau dikata, jika mencerna kehendak “Sang Peristiwa” menjadi tumpul maka pintu mukjisat tertutup. Padahal “Sang Peristiwa” telah menunjukan jalan dan menganjurkannya sendiri.
Ingatlah pengalaman Simon di Danau Genasaret. “Karena Tuhan yang menyuruhnya maka aku melakukannya.” Sang Peristiwa” tidak meninggalkan Simon, ketika putusan telah diambil. Inilah saat Caritas Dei urget nos. Kasihnyalah yang menarik, memampukan dan menghendaki kita mengikuti perintahNya. Mukjisat terjadi.
Persitiwa dan kisah saudara yang kaya beda dengan Simon, namun sama inti sarinya, yaitu, “Caritas Dei urget nos.” Kasih dan kehendak “Sang Peristiwa” menarik dan menghendaki kita untuk melakukan perintahnya. Tinggal saja, mengikuti atau menolak.Bagi kita, agar dapat sampai ke posisi Simon, sangat dibutuhkan pengolahan diri sampai ke dimensi transenden, melampaui. Sehingga manakalah ada situasi dilematis, kita dapat memiliki kepastian dalam memilih. Memilih adalah sesuatu yang harus dalam hidup.
Pengolahan diri sampai kepada dimensi transenden mensaratkan hidup berdasar pada prinsip humanisme transedental (kemanusiaan yang beriman). Prinsip ini berupa “kebaikan tertinggi” untuk diri sendiri, kelompok, masyarakat dan untuk suatu organaisasi atau perhimpunan. Jika menjalaninya maka akan berwujud pada mukjisat.
Mukjisat selalu terjadi dan berpihak pada “insan ilahiah.” Apa itu? Manusia-manusia penyembah Tuhan yang mewujud pada dan dalam sikap kasih, hormat dan mengagungkan sesama yang telah mengambilkeputusan untuk hidup dalam kasih Allah. Kasih Allah itu juga yang telah menarik kita semua untuk bersatu, bersama dan saling mengasihi. Semoga Caritas Dei urget nos. ***