Oleh: Dyah Harsitowati-Hayon (Guru PAK)
Metronewsntt.com- PENDIDIKAN dan pengajaran dalam pemikiran filosofis Driyarkara (1980) adalah “membantu proses homonisasi dan humanisasi. Homonisasi berarti ‘menjadikan’ manusia (homo) menjadi diri sendiri secara holistik, mengenal dan mengembangkan potensinya sehingga tumbuh menjadi manusia yang bertangggungjawab. Humanisasi berarti proses membantu seseorang (human) menjadi semakin manusia, berbudaya tinggi dan bernilai tinggi; manusia yang peka terhadap sesama dan lingkungannya.
Pandangan filosofis ini dengan sendirinya menggarisbawahi kegiatan pendidikan-pengajaran di sekolah sebagai suatu upaya holistik. Tidak hanya utamakan ranah kognitif dan mengabaikan ranah afektif, psikomotorik dan konatif (kehendak). Kata lainya, pendidikan dan pengajaran di sekolah merupakan upaya pemberdayaan seluruh potensi peserta didik.
Para guru di sekolah dengan tiga tugas umum, yakni mendidik, mengajar dan melatih disebut educator. Kata “educator” dari Bahasa Latin yang terbentuk dari kata, ekx: keluar dan ducere: menghantar. Jadi educator ini siap membantu, menuntun keluar peserta didik dari suatu prakondisi ke kondisi tertentu –“yang lebih baik”. Misalnya, dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak paham menjadi paham, dan dari tidak bisa menjadi bisa.
Educator dengan tiga tugas itu tidak mudah dalam praktek karena berhadapan dengan aneka back ground peserta didik dan “label” sekolah asal. Imbasnya adalah tidak mudah juga mencapai prestasi koqnitif yang diidealkan. Misalnya standar Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) sekolah harus ≥ 80. Pertanyaannya, jika tidak mencapai KKM Sekolah maka “akan dike-mana-kan peserta didik itu?
Menjawab pertanyaan di atas maka concern pendidikan yang harus diamini adalah bahwa melalui pembelajaran di sekolah, peserta didik adalah anggota-anggota baru dalam masyarakat yang sedang disiapkan untuk memainkan perannya dalam mempertahankan masyarakat (social maintenance) dan mengembangkannya (social development). Concern pendidikan seperti ini jika dikaitkan dengan kualitas maka yang dimaksud adalah bukan semata terletak pada pencapaian KKM Sekolah/ aspek kognitifnya tetapi kualitas secara holistik, - empat ranah itu.
Masa depan dan sentuhan emosional
Berangkat dari paham filosofis, dan concern pendidikan yang disinggung di atas maka para orang tua menjadikan pendidikan dan pengajaran yang dilakukan educator di sekolah sebagai sandaran dan harapan bagi anak-anak mereka. “Para orang tua melihat pendidikan sebagai sarana untuk mempersiapkan anak-anak mereka bagi kehidupan masa depan dan tanpa pendidikan kesempatan anak untuk maju dalam dunia masa depan akan tertutup, ungkap futurolog, Alvin Toffler (dalam Future Schock, 1992).
Menggantungkan “masa depan” pada pendidikan di sekolah, mengindikasikan peran dan tugas educator di dunia pendidikan masih dominan sampai era ini. Tidak tergantikan oleh teknologi secanggih apapun karena para educator adalah pendidik-pengajar profesional yang sedang menghadapi peserta didik milenial/ generasi Y. Pertanyaan lanjut: “Apakah kelompok ini membutuhkan pula sentuhan emosional dalam pembelajaran di sekolah?
Mengapa perlu sentuhan emosi? Karena cara berpikir generasi milineal di era ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran post-modernisme. Mereka umumnya meragukan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknik untuk memberikan segala jawaban terhadap persoalan manusia. “Realitas perang, pengangguran dan kurangnya penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia melahirkan sistem sikap curiga bahwa ilmu pengetahuan dan tekhnologi tidak menjamin kebahagiaan manusia” (Putranto, 2012).
Selain itu berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh GSM (Gerakan Sekolah Menyenangkan) pada April 2021 belum lama ini (Kompas, 6/821) menunjukkan bahwa pembelajaran jarak jauh di masa pandemik Covid-19, menyebabkan peserta didik mengalami emosi negatif karena minim sentuhan sosial emosional dari educator selama pembelajaran.
Pandemi Covid-19 juga memotret sistem pendidikan yang tidak siap mendukung kebutuhan peserta didik disemua jenjang pendidikan, ungkap Co-founder GSM dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Akibat lanjutnya emosi negatif sungguh dirasakan dan dialami peserta didik berupa rasa bosan, sedih, stress, bingung, kurang semangat, kurang puas, kurang efektif hingga kurang nyaman. Ada yang merasa terbebani dan kurang memahami materi serta kesulitan belajar.
Survey juga dilakukan terhadap orang tua murid oleh LaporCovid-19 bersama Fakultas Psikologi UI. Hasil survey menunjukkan, bahwa PJJ sarat masalah, mulai dari keterbatasan perangkat, gangguan internet, hingga menyebabkan anak frustrasi.
Atas problematika ini maka sangat diharapkan penerapan cara belajar menyenangkan. Dan untuk mengatasi emosi negatif peserta didik dan meningkatkan sentuhan emosi adalah apabila pandemic sudah terkendali pembelajaran tatap muka (secara terbatas dan full) segera dilakukan. Tujuannya untuk memotivasi peserta didik dalam belajar dan mencari cara dalam pembelajaran untuk memperkuat nalar berpikir peserta didik.
Sadar akan situasi pandemic Covid-19 yang telah mengganggu sistem pendidikan dan cara belajar peserta didik, orang tua tetap menyandarkan masa depan anak-anak pada dunia pendidikan. Drost SJ. (2006), pakar dalam pendidikan Katolik menegaskan, bahwa “Orang tua berharap kepada sekolah semoga anak diberi pengajaran sehingga siap memasuki dunia sebagai orang dewasa yang berpendidikan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan nyata”.
Konsekwensi lanjutnya adalah jika menginginkan prestasi maksimal dan hasil belajar optimal maka perlu upaya mereduksi (bahkan mengentaskan) problematika yang sedang dirasakan oleh peserta didik. Perlu juga kerja sama- sinergitas dalam bekerja (gur, siswa, orang tua dan pengelola sekolah) untuk kemajuan pendidikan. Dengan demikian, niscaya akan hadir upaya menolong dan mendukung peserta didik untuk belajar dengan sungguh, nyaman dan menyenangkan.
Belajar dalam kondisi demikian akan melahirkan kulaitas yang diharapkan dan kemampuan peserta didik dibentuk. Mereka menjadi diri sendiri (learn into be), mengetahui hal yang baik, menginginkan hal yang baik dan melakukan hal yang baik (Lickona, 2013). Dan untuk meraih hal-hal ini, kepada para educator dituntut beradaptasi dan berkemampuan menkreasi kegiatan pembelajaran agar menarik dan menyenangkan untuk menghindari “tekanan” kepada peserta didik. ***