WhatsApp Facebook Google+ Twitter BBM

KENANGAN ITU MEREPOSITIONING dan MEREMINSED

Metronewsntt.com 12-08-2021 || 13:06:00

Vinsens Al Hayon

(Refleksi atas kisah “Anamnese”)

Metronewsntt.com. PERNAK-pernik kenangan akan ziarah ke kota suci masih terpahat kuat dalam ingatan.   Sabda yang menggetarkan hati dan budi tentang, “Lebih mudah seekor unta masuk melalui lubang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam kerajaan Allah” terus mengiang sampai kini. Ingatanku akan karib seasal kota yang bersamaan kala kembali dari ziarah terus mendampar tanya: “Dimanakah dia sekarang? Di kota, tidak kutemui. “Sibuk?” tanyaku sekenanya.  

Saban ahad, kudapat berita dari kenalan di kota, bahwa “karibku sudah berseragam perwira. Beberapa prajurit menjaga di rumahnya.” “Oh, begitu,” gumamku. Tentang dia, ingatanku kembali ke area dekat Mesbah Persembahan, kala ziarah lalu. Karibku serius berdialog dengan tentara jaga di sampingnya sambil menguping  ajaran “Pengkhobah Muda” di podium.

Suatu ketika aku ke pusat kota. Di sana aku dengar kabar, bahwa “Pengkhobah Muda” akan tiba segera. UtusanNya telah mendahului Dia menyiapkan tempat untuk Dia berkhotbah. Di dataran dekat bukit, tepat di jalan masuk kota, letaknya.

Ketika waktunya telah genap, aku juga datang ke sana. Dataran sudah penuh sesak. Di ketinggian, di bukit itu, berdiri Sang “Pengkhotbah Muda,” siap bicara. “Jubah putihnya bersinar kilau, wajahnya bercahaya dan pancaran sinar hatiNya membasuh semua yang hadir. Aku juga merasakannya. Riak suaraNya kala berkhotbah membentur setiap pikiran dan menembus ke relung hati semua yang hadir.

Kata-kata yang Ia ujar, menggetarkan hati, bercahaya membawa terang, dan terang itu mengalahkan kegelapan. SabdaNya yang agung berdaya memberi hidup baru: “Setiap orang yang datang kepadaKu dan mendengarkan perkataanKu serta melakukannya, ia sama dengan orang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas dasar yang kuat, di atas batu. Ketika turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, rumah itu tidak rubuh, tetapi sebaliknya yang dibangun di atas pasir, akan mudah rubuh.”

Takjub semua yang hadir, sebab Ia bicara sebagai orang yang berkuasa. Tetua kota di sampingku pun terpanah dan mulai bicara sendiri: “Sama halnya iman yang kokoh membawa hidup baru dan membuat seseorang kuat bertahan dalam pencobaan.” Aku mengamini ucapan tetua itu, dibarengi sanggahan, “Siapa yang punya iman sebesar itu?”

Ketika sadar dari sanggahanku, “Pengkhotbah Muda” sudah usai bicara. Ia turun dari bukit dan bergegas masuk ke kota. Semua yang hadir berbondong mengikuti Dia. Ketika sedang melangkah masuk halaman kota, datanglah kepadaNya beberapa orang tua. Dari pakaiannya aku tahu, mereka adalah pengurus rumah ibadat.

Aku mendekatkan langkah ke posisi mereka berdiri. Aku dengar mereka meminta dengan sangat pertolongan pada “Pengkhotbah”: “Hamba dari perwira kami sakit keras dan hampir mati. Datanglah ke tempatnya dan sembuhkanlah hambanya. Ia layak Engkau tolong karena ia mengasihi bangsa kita dan menanggung pembangunan rumah ibadat kami.” Aku lalu bertanya dalam diam, “apakah perwira itu, karibku selepas ziarah dari kota suci?”

Lalu “Pengkhotbah” itu pergi bersama mereka, dan aku turuti mereka sambil menggendong tanya besar dalam benakku.  Mendekati rumah perwira itu, “Pengkhotbah” berpaling kepada kami dan berkata, “Tentu kamu inginkan mujizat dari padaKu. Karena jika tidak melihat tanda dan mujizat kamu tidak percaya. Setelah selesai berkata-kata, Ia berbalik hendak melanjutkan langkah ke rumah perwira, namun seorang bersergam perwira menghadang langkaNya. Sembari bersujud di hadapanNya, perwira itu berseru, “Aku tidak layak Tuan datang ke rumahku, tetapi katakan sepatah kata saja, maka hambaku itu akan sembuh.”

Si “Pengkhotbah” heran mendengarkan seruan itu dan akan perwira itu, kemudian berkata kepada kami: “Iman sebesar ini tidak pernah Aku jumpai, sekalipun di antara orang  Israel. Setelah berkata demikian, kami yang hadir diliputi diam panjang. Sejurus kemudian, datang seorang hamba lain dari perwira itu dan memberi laporan, bahwa hambanya yang sakit keras dan hampir mati telah sehat kembali.”

“Ajaib-ajaib!” teriaku. “Mujizat telah terjadi di kota kita. Keajaiban menghampiri dan menetap dalam rumah perwira. Puji Tuhan, halleluyah!” lanjutku.  Perwira itu, lantas menatap aku, yang tidak jauh dari hadapannya. Dia tersenyum padaku dan mengangggukan kepala tanda ia mengenalku sebagai karibnya.

“Inikah pemilik iman sebesar itu?” tanyaku. “Bagi manusia hal itu tidak mungkin tapi tidak bagi Allah”, ucap balas “Pengkhotbah” kepada kami. Kami semua terhenyak tak bersuara, sembari gema seruan itu membubung tinggi dan turun merasuk semua hati dan bibir agar selalu mengulang dan terus mengulang, “Tuan, aku tidak layak Tuan datang kepadaku, tetapi katakan sepatah kata saja, maka aku akan sembuh.”

Di kemudian hari bahkan sampai kini, “seruan” perwira karibku itu telah menjadi puncak doa penyerahan dan jadi kenangan puitis dalam setiap ibadat agung. Seruan itu adalah cara memuliakan “Pengkhotbah” sebagai “Yang Empunya” segala yang ada dan terjadi.

Capai Anamnesis dengan repositioning dan remindset

Perwira dan sikap laku hidupnya –ikhlas beramal- telah menjadi kenangan sepanjang sejarah. Tutur bahasanya dalam wujud seruan itu telah menjadi doa yang memiliki kekuatan tiada tara, dan menjadi anamnesis bagi setiap yang percaya. Dalam ibadat agung seluruh pengikut Sang “Pengkhotbah” mengulanginya sebagai pengagungan akan Dia,  “Yang Empunya” segala yang ada dan terjadi.
 
Seruan yang berkumandang menembus mega surgawi itu lahir dari sebuah perjumpaan spiritual yang teramat intens dan tidak seadanya. Ia meretas jalan yang panjang dan melalui ngarai hidup yang dalam. Ia telah melintasi pergumulan hidup yang lama dan berujung pada keputusan yang tepat, “Mengikuti wejanganNya dan menjadi muridNya.” Inilah spiritualitas yang ditunjukkan sang perwira.

Sipiritual yang dibangun sang Perwira, bukan beralas pada soal lama atau singkatnya berjumpa dengan Sang “Pengkhotbah Muda” (Tuhan), tetapi karena sabda “Pengkohotbah” kala ziarah lalu ke kota suci telah didengar dan terus membentuk diri dan keyakinannya. Gambaran diri dan keyakinan itu kemudian mewujud pada  seruan itu, “Tuan aku tidak layak Tuan datang ke rumahku, tetapi katakan sepatah kata saja, maka hambaku akan sembuh.”

Seruan itu lahir kala perjumpaan sesungguhnya dan disadari, terjadi antara ia yang sekarang sebagai perwira dengan “Pengkhotbah Muda” yang hendak datang kerumahnya. Perjumpaan secara langsung face to face. Mungkinkah hal itu terjadi bagi kita di zaman canggih ini? Di dunia milineal, simbol kemajaun akal budi dengan kehadirannya lebih menarik dan nikmat?  

Jawabannya, “sangat mungkin.” Kita dapat berjumpa dengan “Pengkhotbah Muda” secara fisik. WajahNya tergambar pada sesama dengan segala kebutuhan spiritual dan material yang belum tercukupi. Kita juga sangat mungkin berjumpa denganNya secara rohani tatkala mengandalkan Dia, mendengar Dia, Percaya Dia dan siap sedia mengkuti Dia.

Mendekati atau meraih secara utuh spiritualitas hidup seperti si perwira di atas untuk kita zaman ini adalah dengan merepositioning dan meremindset. Bahwa kita harus kembali mempoisikan diri sebagai alat, bawahan, orang suruhan, hamba bukan tuan, orang tidak punya bukan pemilik harta, bukan tahu segala, bukan orang kaya tapi tidak punya apa-apa, dan lain-lain dan hanya bisa dan mampu jika berada dalam Dia. Memposisikan Dia pada dan dalam posisi kita. Ingat ajaranNya; “Ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri jika ia tidak tinggal pada pokok anggur.”

Berikutnya meremindset. Perlu bagi kita dalam perjalanan hidup ini merubah mindset/pola pikir, bahwa kemampuan dan kesanggupan kita barulah menjadi lengkap dan sempurna jika kita menyadari diri bahwa “bukan kamu yang memilih Aku tetapi Akulah yang memilih kamu.” Akulah yang menentukan dan menjadikan kamu sebagaimana kamu ada sekarang. Jadi yang diutamakan adalah Dia, “Sang Pengkhotbah” dengan keseluruhan diri dan hidupNya dan segala kehendakNya. “Carilah dahulu kerjaan Allah dan yang lain akan ditambahkan kepadamu.

Nikmat namun tidak mudah anjuran di atas dipraktekan karena tawaran dunia lebih cangging dan menarik. Booming dunia maya lewat jaringan internet lebih menggiurkan dari pada melalang buana di dunia spiritual yang terasa amat sulit dan jauh sekali dari jangkauan. Padahal ia lah yang mendasari segala pergerakan dan hidup manusia yang ada di kolong realita dunia dengan segala tantangannya.

Untuk sampai ke sana, kita juga perlu merenew, membahrui diri, pikiran, hati dan kehendak kita agar selaras dengan “Pengkhotbah”. Kita perlu selalu mendengarkanNya dan menaati kehendakNya sehingga iman yang besar jadi milik kita dan melahirkan kerendahan hati, kepasrahan total dan merasa diri selalu tidak layak di hadapan Tuhan sehingga mukjizat selalu masih ada dan terus terjadi dalam hidup kita. ***
 


Baca juga :

Related Post