WhatsApp Facebook Google+ Twitter BBM

COVID-19 Dan PEMIMPIN SOSIOLOGIS DAN EKOLOGIS

Metronewsntt.com 28-08-2021 || 10:35:14

Oleh: Vinsens Al Hayon

Metronewsntt.com- HIDUP terasa semakin enteng belakangan ini lantaran upaya pemberantasan virus korona dengan nama SARS-CoV-2 atau Covid-19 mengalami kemajuan. Zona hitam Covid-19, di area tertentu meraih titik balik ke merah, kuning dan menghijauh. Titik terang upaya memutus mata rantai penyebaran virus korona terus nampak besar.

 
Virus korona datang tidak kasat mata dan menyerang manusia tanpa pandang bulu; laki-perempuan, kaya-miskin, tua-muda,  kecil-besar, ia libas dan mengakibatkan kematian. Ia bagai musuh dalam selimut dan membuat panik warga dunia, juga warga bangsa kita. Apalagi varian baru virus korona itu.

 
Inikah yang dinamakan sifat alamiah virus? Ia bermutasi sesuai kehendaknya dan bukan di bawah kendali manusia. Coba wabah itu seperti “perang atau kelaparan” maka ada berbagai cara dan upaya kasat mata untuk menghentikan laju seranganya. Lain soal,  jika “perang dan kelaparan” sebagai akibat dari permainan  politik, persoalan kepentingan dan karena sifat ego destruktif.


Zoonosis: Sejujurnya dan sebenarnya

 
Awal mula virus korona merebak, sampai menjadi pandemik, ada banyak dugaan, bahkan sampai ketingkat tudingan destruktif yang meluas lepas karena dipicu negative willing (emosi yang meladak-ledak), paham politis yang berseberangan dan sikap permusuhan yang hebat. Sikap saling menyalahkan secara politis membumbung tinggi. Konspirasi politis dan kepentingan serta semangat menjatuhkan menjulang tinggi mempengaruhi area wacana mondial.

 
Bagaimana pandangan pihak ilmuwan dalam kaitan dengan zoonosis? Mereka akan berkata “sejujurnya dan sebenarnya” jika tidak terjebak provokasi politis dan kepentingan sepihak. Serupa para aktivis lingkungan,  mereka menghubungkan pandemik dengan ekspansi manusia terhadap alam yang merusak habitat berbagai satwa liar. Dalil zoology mereka kedepankan.

 
Arah pendapat mereka seperti ini: “Pengrusakan alam selain berdampak bencana juga mengakibatkan terganggunya  habitat satwa liar termasuk virus. Ketika terjadi kerusakan pada habitatnya, virus-virus pun kehilangan inangnya yang nyaman, lalu bermutasi dan menginvansi ruang hidup manusia.” Akibat lanjutnya terjadi (endemik dan ) pandemic seperti yang terjadi sekarang.

 
Tekanan diberikan kepada perilaku kebablasan terhadap alam, jadi causa primanya. Terbetik fakta, bahwa  pengrusakan alam mengakibatkan panas bumi naik dan lapisan ozon menipis karena efek rumah kaca. Penebangan liar, pengolahan tambang secara serakah dan  berbagai perilaku tidak bertanggung jawab lainnya sangat berdampak pada kerusakan alam, sehingga alam seperti tidak berdaya menghalau segala wabah secara alami?

Indikator ada beberapa; alam seperti tidak mampu lagi memberikan imun tubuh kepada manusia sehingga paru-parunya menjadi tidak sehat karena menghirup udara yang telah tercemar oleh asap pabrik, knalpot kendaraan dan lain-lain. Sumber air di danau, sungai, laut tercemar dan tidak sehat untuk dahaga manusia. Hutan sebagai paru-paru bumi terbakar hangus bersama biota yang lain yang dikandungnya menyebabkan penguapan berkurang, maka akibat lanjutnya adalah hujan sebagai pembersih alami bumi ini bekerja tidak maksimal.

Jadi ada krisis ekologis yang berpangkal pada manusia sehingga perlu “pertobatan ekologis?” Tampak nyata bahwa ada globalisasi ketidak-pedulian yang butuh kesadaran untuk solidaritas. Kapan harus dimulai dan bagaimana memulainya? Inilah pertanyaan introspektif yang butuh jawaban dan jalan keluar secepatnya.

Pemimpin; Bertanggungjawab sosiologis, ekologis dan teologis

 
Ingat ucapan Lao Tzu, filsuf China kuno yang layak direnungkan; “Menjadi pemimpin hebat itu melayani dan menjadi teladan, menunjuk tapi tidak menusuk, lurus tetapi tidak lentur, dan terang-benderang dan enak dipandang.

 
Titik fokus pandangan ini mensaratkan perlu “Jiwa kepemimpinan dan semangat melayani.” Implementasinya adalah  ia bersedia mengorbankan diri; pikiran, perasaan bahkan seluruh diri dan hidupnya untuk suatu tugas, jabatan berkaitan dengan pelayanan. Apalagi pelayanan public.

 
Terkait dengan pandemic ini, pemimpin tidak hanya mengandalkan kecerdasan tetapi juga dengan hati dan akal budi, dan mengutamakan keteladanan, jadi contoh, seia-sekata dalam pebuatan. Tidak cukup hanya orasi dan teriak, tetapi harus turun ke lapangan dalam upaya memberantas tuntas covid-19.

 
Paus Fransiskus, pemimpin umat Katolik sedunia merespon fakta kerusakan alam dan akibat yang ditimbulkannya  dengan mengajak seluruh umat bahkan penduduk bumi lewat ensklik Laudato Si untuk memperhatikan bumi sebagai rumah kita bersama. Bahwa telah terjadi globalisasi ketidakpedulian terhadap bumi tempat tinggal manusia. Bumi telah dirusakan dan salah satu akibatnya dalah pandemic yang terjadi serakarang ini.

 
Illegal lodging, kebakaran hutan, pertambangan liar, pencemaran air, sungai, danau dan laut, rumah kaca dan segala tindakan tidak bertanggungjawab terhadap alam merupakan data dan fakta ketidakpedulian, dan realita ini menglobal.  Karena itu telah terjadi globalisasi ketidakpedulian dan harus diganti dengan solidaritas.

 
Aktualisasi solidaritas yang dibangun itu tidak terbatas pada kerja sama di antara manusia, tetapi mencakup solidaritas dengan alam lingkungan, tentang menjaga dan melestarikan bumi sebagai rumah bersama seluruh umat manusia, tandas Paus.  


Resikonya adalah tidak menomorsatukan privatisasi asset dan sumber-sumber daya alam oleh egoisme segelintir orang yang disebut pemilik modal dan didukung oleh rezim politik. Terlebih politik kepentingan. Mungkinkah sistem ekonomi global dengan pasar bebasnya telah memicu sifat dan sikap kebablasan berkuasa atas alam-sumber-sumber daya alam?

 
Balik ke virus korona, pandemi Covid-19 telah menjadi candradimuka lahirnya pemimpin sejati yang tidak hanya piawai bernarasi dan berorasi, tetapi juga mampu melakukan aksi nyata. Ia dipanggil untuk memberantas tidak hanya virus tak kasat mata, Covid-19 tetapi juga virus gede, yang sedang kasat mata, yakni ketidakadilan sosial, kesenjangan kesempatan, marginalisasi, kelangkaan perlindungan bagi mereka yang paling lemah, dan tindakan semena-mena kepada sumber daya alam. 

 
Inilah hukum alam tidak tidak tertulis bagi seorang pemimpin, yakni bertanggung jawab sosiologis, bertanggungjawab ekologis-kosmologis dan juga bertanggungjawab teologis. Ikutaan dari tanggungjawab ini pemimpin dihargai karena peran dan kontribusi nyatanya, bukan karena mengandalkan pangkat dan kedudukan-tuan atas segalanya di muka bumi. ***

 


Baca juga :

Related Post