Betlehem
Catatan Reflektif Pasca Natal 2024
Oleh: Saturlino Correia, Al Hayon
Metronewsntt.com----TEMA Natal tahun 2024 adalah “Marilah Sekarang Kita Pergi Ke Betlehem.” Secara nasional tema ini mengajak seluruh masyarakat kristiani untuk merefleksikan makna mendalam dari kelahiran Yesus dan perjalanan iman para gembala dalam menyambut kelahiran Yesus sebagai juru selamat. Iman para gembala terejawantah pada sukacita meninggalkan segala miliknya untuk menyaksikan kabar baik di Betlehem.
Actus (tindakan) “Meninggalkan segalanya” mencerminkan panggilan untuk bersaksi dan menginspirasi kita untuk meneladani respons para gembala akan kabar baik, kabar sukacita kelahiran. “Sikap tanggap” dan aksi “lekas-lekas” merupakan bukti iman atas warta sukacita kelahiran Yesus, dan juga sikap iman yang amat sederhana, namun kokoh berdiri pada harapan sejati akan keselamatan dan bentuk setia-taat yang “pure” kepada Tuhan.
"Ajakan Ke Betlehem *
Betlehem secara historis dan sebagai realita fisik, tidak disorot secara utuh dalam esai kecil ini, namun kemasyuranya sebagai keyakinan iman kristiani akan menjadi basis permenungan perjalanan iman dan keyakinan iman dari umat Kristiani. Refeleksi kita digugah dan digugat oleh pertanyaan ini, “Mengapa ke Betlehem?” Jawabannya aneka, di antaranya sebagai berikut.
Pertama, Inkarnasi mewujud di sana, dan menjadi pokok iman Kristiani, walau dalam versi Lukas (Luk 1:30,35) inkarnasi telah terjadi (mewujud) manakala kabar gembira disampaikan oleh malekat: “Engkau akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engaku menamai Dia, Yesus. Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah yang maha tinggi akan menaungi engkau”.
Inkarnasi, Sang Sabda menjelma menjadi manusia merupakan metafor agung bagi relasi khas antara cinta, solidaritas dan pengorbanan. Inilah yang menjadi kesadaran inkarnatoris, bahwa “Kalau bukan karena cinta, jika tidak karena solidaritas dan pengrobanan mulia” apalah arti sebuah inkarnasi.
Tepatnya, pernyataan ini digarisbawahi dengan tesis ini “Allah e o principio sem principio,” (terminologi berbahasa portugis) yang artinya, “Allah menjadi pemula yang tiada bermula”. Dalam bahasa Latin dikenal dengan istilah, “Allah est prinscipium qui non incipit.” Kedua term ini bermakna, “Allah adalah sumber segala sesuatu dan memiliki keberadaan yang kekal tanpa awal dan tanpa akhir”.
Mengapa Allah perlu menjadi manusia dan ajakan, “Marilah kita ke betlehem!” menyaksikan inkarnasi Allah dalam diri Yesus? Bukankah pandangan akan inkarnasi ini seolah meruntuhkan martabat Allah yang agung dan serba maha, serta sekaligus olok-olok abadi bagi mereka yang tidak mengimani Yesus sebagai anak Allah.
Bagi yang berpandangan bahwa antara Allah dan manusia terpisah oleh “tembok” sehingga tidak mungkin terdamaikan tentu saja sulit memahami misteri inkarnasi atau penjelmaan ini, tulis Prastowo dalam buku “Gereja Yang Mendengar, terus berubah –tetap setia” (Penerbit Lamalera, 2024).
Inkarnasi sungguh relevan dan menemukan urgensinya persis pada titik ini: ia menjembatani antara Ia “Yang ada di seberang sana” dan “kekinian yang nyata”, antara “Yang Ideal” dan “yang riil”. Kini dipahami, bahwa Allah justru hadir dalam paradoks ini: Ia menjadi manusia, lemah tak berdaya, terkurung situasi serba cacat dan mengosongkan diri (kenosis), agar Ia sungguh menjadi Allah yang welas asih dengan mengangkat kemanusiaan menuju keilahian (theosis). Sebagai Jembatan atau Medium inilah fungsi penjelmaan -inkarnasi.
Inkarnasi memungkinkan dunia tempat huni manusia bukanlah situs kutuk, sebaliknya adalah ladang rahmat yang memungkinkan manusia dengan segala ketersituasian dan potensialitasnya dapat mencapai kepenuhan. Dengan demikian hal yang tak terjangkau, terjangkau dan perkaranya menjadi jelas.
Inkarnasi (in = menjadi, carnare = daging), atau penjelmaan adalah istilah lain bagi keterlibatan dan bermakana memberi daging atau isi bagi tiap bejana kesempatan agar suatu maksud atau potensi menajadi terwujud nyata.
Inkarnasi memiliki analogi imani dan melampuai logika. Serupa ini: kandang dan palungan menjadi tempat tinggal dan wadah meletakan makanan untuk kehidupan domba-domba yang kemudian diambil dagingnya untuk makanan tubuh jasmani. Yesus menjadi santapan rohani atas peristiwa Betlehem ini.
Kedua, Damai sejahtera dan sukacita. Konsep hidup damai, “berdamai dengan situasi,” suatu ajaran yang sangat realistis ditemukan. Situasi kondisi Betlehem mengajarkan menerima kenyataan hidup apa adanya, sebagai suatu fakta sehingga lahirlah sukacita untuk beradaptasi dan siap berdinamika, bergerak maju. Inilah didikan alamiah tidak saja untuk hal rohani tetapi juga jasmaniah. Eksistensi dan esensi manusia mengalami titik temu.
Damai sejahtera dan sukacita yang dinamis ini merupakan support system dan starting point untuk beraksi tidak hanya pada tataran verbal tetapi lahir menjadi tindakan atau aksi nyata. Tidak hanya sebatas orthodoksi, wejangang wajib atau khotbah harus, tetapi mewujud pada orthopraksis, praktek hidup.
Oleh karena itu, ikut “ajakan ke Betlemen” dalam konteks ini adalah bukti iman yang otentik yang dalam praksis “sekarang dan di sini (hic et nunch) tidak hanya merupakan “kredenda” tetapi “agenda”. Iman harus menyerupai agenda karya, tidak sekadar sebagai keyakninan (credo) semata. (Arti agenda: rencana dan tujuan yang harus dicapai atau sebagai sesuatu yang harus dijadikan bagian penting atau tujuan yang perlu diperhatikan dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari).
Iman tidak dipahami hanya sebagai konsep atau doktrin yang dipercayai tetapi harus tetapi harus nyata pada tindakan. “Iman tanpa perbuatan pada hakekatnya adalah mati,” demikian pernyataan Yakobus, (Surat Yakobus,2:7). Iman tidak mewajibkan hanya kepada ibadah rutin dan meningkatkan pengetahuan tetapi harus diejawantahkan pada berbuat (action) baik kepada sesama. Ini pengakuan iman yang mampu merubah kehidupan.
Ketiga, Hidup sederhana dan belajar dengan hati. Di Bethlehem (Ibrani: beit = rumah dan lehem = roti): rumah roti) para gembala menyaksikan kesederhanaan hidup. Hidup apa adanya. Hidup yang dibangun sesuai konteks providentia divina dei (Penyelengaraan Ilahi Allah). Atas pemandangan ini, kondisi kontekstual Betlehem mengajarkan dan membelajarkan dengan hati
Bertolak dari penjelasan Mary Elisabeth Mullino Moore dalam bukunya, Teaching from the Heart: Theology and Educational Method, (Harrisburg , PA: Trinity Press International, 1998) dan Parker J. Palmer, dalam bukunya, Healing the Heart of Democracy: The Courage to Grate a Poltics Worhy of the Human Spirit, (San Francisco, CA: Jossey-Bass, 2011) dapat ditarik benang merah bahwa, konteksasi Betlehem mengajarkan dan membelajarkan sesuatu yang bernilai bagi kehidupan dengan hati.
Bahwa hati adalah bagian integral dan utuh, dan tidak merujuk dimensi tertentu dari kedirian seorang manusia. Hati bukan menunjuk hanya kepada dimensi emosional dari kepribadian seseorang tetapi hati menunjuk dan merangkul totalitas kedirian manusia, yaitu intelektual, kehendak, emosi, dan tindakan.
Dengan demikian, peristiwa Betlehem adalah bukti pembelajaran dan pengajaran dengan hati. Para gembala sebagai reprentasi kita, sesungguhnya sedang menegaskan kepada kita secara kontekstual bahwa proses mengajar dan belajar tidak semata-mata mengagungkan dimensi kognitif semata tetapi sebaliknya dalam kedua aksi secara timbal balik itu, kita membuka ruang bagi seluruh dimensi dari kedirian kita, baik secara individu maupun secara komunal.
Peristiwa Betlehem tidak selalu harus dipahami secara logika dengan melepaskan ilmu rasa. Tidak hanya pembelajaran secara historis menjadi sandaran tetapi selayaknya merujuk juga kepada epistemolgi iman yang sangat menuntut ejawantah.
Pada dan untuk konteks hari-hari ini, here and now, kita diajak untuk belajar dengan hati dari situasi dan kondisi Betlehem ini. Jika tidak maka kendatipun seribu kali kita merayakan Natal dengan mewah bahkan meriah sekalipun tetapi nilai kesederhanaan inkarnasi tidak lahir dalam diri kita maka perayaan Natal yang kita lakukan tidak ada maknanya.
Dengan ajakan, Mari kita ke Betlehem! kita sedang diperingati untuk “berguru pada masa lalu dan tetap teguh dalam iman menatap masa depan”. Jika demikian maka Yesus dalam situasi dan kondsisinya di Betlehem adalah Imanuel - Deus Esta Conosco.*