Yesus
(Catatan Reflektif Semana Sancta)
Oleh: Al Hayon Vinsens
Metronewsntt.com- KISAHKU dicatat oleh tiga penulis suci dengan sedikit variasi, tetapi tradisi lisan di kotaku mengabarkan secara utuh tentang diriku. Akibatnya ada sedikit salah tafsir, namun tidak mengapa. "Biarkan kisah itu menjelaskan dirinya sendiri, (Nuestras obras tienen su propia lenguaje).
Banyak yang mengira aku Maria dari Magdala, si musisi kecapi kondang pada zaman kami. Ia amat cantik di antara puteri-puteri Yerusalem.
Kemahirannya bermain kecapi membawanya ke istana untuk menghibur para politisi, birokat, gubernur, pegawai istana, dan tetamu undangan lainnya. Lewat berkecapi ia berdakwa.
“Mazmur-mazmur kehidupan,” karya Daud si pujangga Isreal itulah sumber dakwanya yang digubahnya jadi kidung indah dan menggairahkan. Para senator dan pejabat serta tetamu undangan terpukau dan ia disanjung-dipuja. Apesnya, ketika ia diketahui pengikut Tokoh dari Nasaret itu, ia tidak diundang lagi.
Aku bukan permpuan hebat, aku gadis biasa. Aku ada dan hidup sebagaimana keadaanku. Aku tidak seperti musisi kecapi itu. Aku bukanlah dia, namun banyak kadang aku disamakan dengan dia atau Veronica di Via Dolorosa (jalan sengsara).
Di kisah lisan keluargaku Veronica itu sesungguhnya Serafiah, saudara sepupu Yohanes Pembabtis. Ayah Serafiah dan ayah Yohanes, Zakhariah adalah kakak beradik. Dikemudian hari Serafiah dikenal sebagai Veronica yang diambil dari kata “vera icon” (gambar asli). Jadi bukan nama pribadi. Itu adalah ungkapan sejati atas nama: “Gambar yang sebenarnya,” (vere, verum, vero = benar dan nica dari kata icon = gambar). Jadi Veronica artinya “Gambar wajah sesungguhnya.”
Di via dolorosa, Serafiah ikut juga menyaksikan jalan derita Yesus. Ia membawa serta kerudung dan anggur sedap untuk memberi minum Yesus. Tidak ada rasa takut, ia menerobos kerumunan dan ketatnya 300 anggota pasukan, juga yang berkuda yang mengawal perjalanan Yesus dan kedua penyamun ke Kalvari.
Ia mendekati Yesus yang sudah payah oleh palang kayu berat itu dan siksaan algoju sembari memegang kain kerudung dan sebuli kecil anggur sedap di tanganya.
Yesus menatapnya dan mebiarkannya menyeka wajahnya yang berlepotan darah dan keringat. Sedangkan sebuli anggur sedap dirampas oleh algojo. Setelah di rumah Serafiah melebarkan kerudung dan melihat wajah Yesus tergambar pada kerudung itu.
Jadi aku bukan dia. Aku adalah salah satu pribadi yang lain. Sebelun jalan derita ke Kalvari, aku berjumpa dengan Yesus di tempat kejadian penyembuhan hamba seorang perwira Istana.
Orang-orang yang hadir di sana memperhatikan aku dengan tatapan sirik. Mereka mencibirkan bibir dan mengusir aku pergi dengan menaikan alis dan gerakan mata. Mereka tidak suka aku mendekati Yesus karena mereka kenal: “Siapa aku?”
Tidak usah pedulikan itu. Posisikan saja diriku seperti Simon si kusta yang butuh kesembuhan. Walau ada aneka duga tentang aku demikian, aku tetap lah aku, yang juga bernama Maria. Aku yang telah membuntuti langkah “Pembuat kisah kesembuhan hamba seorang perwira” sejak di tempat kejadian perkara.”
Bagiku, irama langkah Yesus dan gerakan tubuhNya telah menarik aku sampai ke rumah Simon, yang menjamu Dia. Para pelayan putri yang cantik-cantik menunjuk-nunjuk kepada Yesus sambil berbisik satu sama lain dengan tersipu-sipu.
Sesaat lamanya aku tertegun, kemudian coba melambaikan tangan menyalami Yesus, namun Ia tidak memalingkan mukaNya. Mengekor mata sekejap saja pun tidak. Aku jadi cemburu.
Aku seperti ditinggalkan kekasih hati dan tenggelam dalam kesendirianku. Aku seperti terhempas di atas gundukan salju, dan gemetar hebat tubuhku. Kertak gigiku kedengaran dalam kata-kata: “Apakah aku layak menyapahNya?” Dalam diam dan kecewaku, lambaian tangan seorang pelayan Yunani yang berparas cantik memberi isyarat untuku agar maju mendekat.
Kuberanikan diri maju lebih dekat pada Yesus. Kupandang Dia dan hatiku gemetar karena kegagahanNya. Tubuhnya begitu padu dan tampilan busanaNya meluluhkan dandananku dalam Pakaian Damaskus, pakaian pemberian seorang kapten Roma.
Sambaran cahaya mataNya mebuat aku jatuh rebah memeluk kakinya dan menangis sesunggukkan seraya menuangkan minyak narwastu di buli mini yang kubawa, ke kaki dan dan setetes kureciki ke seluruh tubuhnya.
Aku terisak sedih, bukan karena syahdu gembira tetapi karena salah besar hidup-lakuku sambil dengan mayang ramabutku kukeringkan tumpahan minyak pada kakiNya.
Rintihanku terucap dalam kata-kata ini: “Tuan Muda, mea culpa, mea culpa, mea maxima culpa.” Aku sesali lakuku dan tobat atas salah dan dosaku. Yesus mendengarkan aku dan sambil menepuk-nepuk bahuku, Ia membangunkan aku berdiri. Ia menatapku sekilas dan berucap: “Salve Maria. Kamu selamat".
Kuarahkan pandang sekejap ke semua yang hadir. Ada seseorang yang menatapku nanar seperti menyesalkan tumpahan wewangian narwastu ke kaki Yesus. Kudengar ia mengeluh: “Untuk apa pemborasan ini? Tidakah dijual dan uangnya diberikan kepada orang-orang miskin.”
Yesus juga dengar ucapan itu, lalu Dia balas menjawab: “Mengapa kamu menyusahkan perempuan ini? Ia telah melakukan perbuatan baik bagiKu.” Selanjutnya Yesus berbalik menatapku, dan kulihat mataNya bagaikan bulan purnama, lain sekali dari mata manusia biasa. Dan seketika aku merasa ditelanjangkan, aku malu sekali. Masa laluku seperti diumbar-umbar. “Bintang bintang malamku” yang gemerlap memudar, redup-redup dan padam. Aku menemukan diriku lagi.
Dahulu, aku adalah pemilik semua mereka yang berjanji mencintai aku, tetapi tak seorangpun kumiliki. Dan ketika tatapan penuh cintaNya menyinari seluruh diriku, aku yang digelari wanita dengan tujuh roh jahat, dikutuk dan dibenci, berubah serentak. Jadilah aku Maria sebenarnya, seorang wanita biasa yang telah melepaskan dunianya yang dulu dan menemukan kehadiranNya di tempat yang baru. Predikat lamaku terabaikan dan hidupku mulai bercahaya surga.
Aku percaya Yesus melihat suatu keindahan pada diriku yang tak kunjung pudar dan saat hari-hari musim gugurku tiba, keindahan itu tetap segar kelihatan dan tak bercela. Ketika tatapanNya berubah bagai fajar menghujam diriku, hidup baru meresapi tubuhku dan mengaliri di sekujur nadiku. Ia berucap lagi: “Datanglah kepadaKu yang letih lesu dan berbeban berat, Aku memberikan kelegaan kepadamu. Belajarlah padaKu karena Aku lemah lembut dan rendah hati,” (bdk. Mat 11:28-29).
“Ingat Maria”, lanjuNya: “Aku mengasihi engkau demi dirimu sendiri dan mencintai apa yang tidak kelihatan dalam dirimu. "Selamat menempuh hidup baru,” ucap Yesus dekat telingaku.
Aku tersanjung sekali. Aku juga merasa cahaya mataNya, bagaikan surya yang terbenam telah memancung “ular naga” dalam diriku, dan aku menjadi seorang wanita sempurna, menjadi salah seorang Maria dari Magdala yang sesungguhnya.
Maria dari Magdala dengan kisah berkisar antara kenikmatan dan nestapa, kesalehan dan dosa, kemenangan dan kalah, durhaka dan bahagia, serakah dan dermawan, setia dan seleweng, kemegahan dan kehinaan, belenggu dan kemerdekaan. Hanya ada satu bagian diri yang tetap terawat daya Ilahi adalah bagian spiritual yang melekat satu dengan kejasmanianku, yang teramat lama tidak kusadari.
Pada bagian terdalam kepribadianku ini, bertahkta Misericordia Domini (Belas kasih Tuhan). Melalui diri dan keberadaanku Ia melegitimasi pesan sabdaNya: “Aku datang tidak untuk dilayani melainkan untuk melayani dan mencari yang hilang. Menyembuhkan yang sakit dan membawakan hidup baru. Aku memerdekakan kamu.”
Kini aku jadi ciptaan baru dan hal inilah yang paling berarti dalam hidup (bdk. Gal 6:15). Aku bukan lagi "Perempuan Biasa." ***