Vinsens Al Hayon
(Memorial Final UEFA EURO 2020)
Metronewsntt.com. KEJADIAN di Wembley Stadium Lodon pada Senin, (12/7/2021) waktu
Indonesia berkaitan dengan final Euro 2021, bagai telah dicandrakan oleh visioner Agung King
David, “Yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai. Yang berjalan
maju dengan menangis sembari menabur benih, pasti pulang dengan sorak-sorai sambil mebawa berkas-berkas hasil.”
Hebat sekali pencadraan di atas, sekaligus jadi terawangan yang tepat, tidak untuk The Three Lions-
julukan untuk Timnas Inggris tetapi untuk Gli Azzurri, julukan untuk Timnas Italia. Mengapa tidak?
Karena setelah melewati fase grup sampai dengan babak final Euro 2021, Timnas Italia-Gli Azzurri
tetap pada The Top One.
Timnas Italia bersama 31 tim lain sedaratan Eropa telah berjibaku sepanjang pertandingan yang
melelahkan. Lolos di fase grup sebagai pemuncak klasemen dan melenggang lancar pada fase knock
out. Pada babak semifinal mengalahkan Tim Matador Spanyol yang telah menghalanginya menjadi juara pada final Euro 2012. Di laga final, Tim Gli Azzurri berjuang dengan gagah perkasa
membungkam big dream of The Three Lions, yang mau jadi juara di tanah sendiri.
Timnas Inggris layak punya big dream (mimpi besar) menjadi The Top One, Euro 2020. Alasannya
kuat; The Three Lions mampu dengan cakar-cakarnya melumat Der Panser-Timnas Jerman pada
babak perempat final sebagai salah satu kandidat juara dengan skor telak 2-0. Pada babak semifinal
The Three Lions mampu membalikan keadaan atas Timnas Denmark dan menang 2-1. Jadi, jelas
semua prediksi, harapan masyarakat Britania Raya, bahkan pasar taruhan mengarah dan bertumpuh
untuk The Three Lions. Tetapi fakta lapangan berbicara lain; The Three Lions, hebat dan gagah,
tetapi secara defacto, “Gli Azzurri lebih hebat dan tidak hanya gagah, tetapi gagah perkasa.”
Timnas Italia Solid; Kerja keras, Kerja cerdas dan Kerja ikhlas.
Solid dalam bahasa harian orang Inggris dan arti umum yang kita terima adalah “padat.” Arti itu
kemudian bias menjadi “kuat.” Kata demikian akan mendapat makna dalam praksis atau
diwujdnyatakan dalam aksi. “Words proved by actions,” dan dengan sendirinya menolak paham
“no action, talk only.”
Timnas Italia di bawah komando Roberto Mancini, menyadari makna kata “solid” itu. Bahwa wujud
kata itu harus tertuang di Lapangan, di Wembley Stadium. Ia menyeruhkan kepada seluruh anggota
timnya untuk Kerja Keras, Kerja Cerdas dan Kerja Ikhlas atau 3 K.
Mensinergikan 3 K inter dan antarpemain akan melahirkan big power untuk menjawab pencandraan
King David, “Pasti pulang dengan sorak-sorai sambil mebawa berkas hasil,”- Juara. Karena itu
setiap pemain diinternalisasikan ke dalam budi, hati dan rasanya untuk Kerja pakai Otot (kerja
keras), Kerja pakai Otak (kerja cerdas) dan Kerja pakai Hati (kerja ikhlas), agar hasil tidak terbatas
dan jadi investasi hidup ke depan.
Sang Kapten Timnas Italia, Giorgio Chiellini memberi penjelasan tambahan kepada rekan setim,
“bahwa Kerja ikhlas berarti bagaimana bermanfaat bagi orang lain, secara khusus bermanfaat untuk
Italia.” Jangan pikirkan apa yang negara buat untuk anda jika menang tetapi apa yang harus anda
buat untuk negara anda, Italia. “Lotta ache porta alla vittoria.”( Berjuanglah untuk kemenangan).
Kesepadanan atau kesesuaian antara “kata dan aksi” itulah yang diterapkan di Wembley Stadium
minggu malam (11/7/2021) waktu Inggris. Mancini dari pinggir lapangan tetap mengkawal dengan
piawai para pemainnya dengan seruan-seruan suportif. Sedangkan di dalam lapangan Chiellini
mengkoordinir serangan dan bertahan tatkala tim Three Lions menggempur. Alhasil, Tim Gli
Azzurri keluar Stadion Wembley bawa serta berkas kemenangan, alias Juara.
Prinsip Gli Azzuri; All out dan Total Dalam Bermain.
Semboyan “nil statis nisi optimum,” dalam bahasa Latin (Italia), berarti “yang terbaik itu baru
cukup baik.” Sedangkan dalam Bahasa Inggris, semboyan itu berbunyi, “Nothing but the best is
good enough.” Salah satu pengguna semboyan ini adalah klub sepakbola Everton FC, ungkap
Oetama, dalam buku, “Yuk, Simak Pak Yakob Berujar, penerbit Buku Kompas (2016).Semboyan itu kelihatan sederhana namun punya daya rasuk besar, sungguh provokatif dan berkekuatan dobel energy atau berenergi “roso-roso.” Timnas Italia paham akan semboyan itu, dan merasuki diri mereka dengan spirit semboyan itu, lalu mempraktekannya di Wembley Stadium, ranah Inggris. Kenapa tidak Inggris ? Itu pertanyaannya.
Semboyan di atas kemudian di-breakdown ke dalam gaya bermain menyerang, 3-3-4 atau 4-2-4
dan kemudian bertahan dengan 4-3-3 bahkan sampai 5-3-2 dengan segala perubahan dan pergseran
yang sungguh ciamik. Prinsip yang diterapakan adalah “menyerang adalah cara bertahan paling
ampuh dan bertahan adalah cara menyerang yang jitu.”Italia tidak lagi memiliki DNA bertahan. Para pemain bekerja all out dan total, dengan prinsip di
atas. Buktinya, ball position menjadi milik Timnas Italia, dan The Three Lions seakan terjebak
dalam perangkap bermain Gli Azzurri, di partai final itu.
Yang dipaparkan di atas itu, adalah “etos kerja all out.” Mengerahkan secara total kemampuan yang
dimiliki, mengedepankan pikiran yang cerdas lewat berpikir cepat dan bertindak tepat serta
mengeksplore tenaga yang tidak kunjung pudar sebelum waktu bertanding usai. Ya, Timnas Italia
tidak hanya bermian all out dan total tetapi menyertakan “roh keberhasilan” dalam permainan
mereka.
Apa itu roh keberhasilan? Yakni hidup sepenuh-penuhnya untuk sepak bola, berkembang sebaik-
baiknya dalam bermain dan berhasil setinggi-tingginya. Mereka yakin dan sadar bahwa roh
keberhasilan secara kodrati-alamiah ada dalam diri setiap pemain dan pelatih yang selalu ingin
meraih sukses dan mengusung keberhasilan. Maka manfaatkan, dan tidak untuk disia-siakan.
Mereka ingin mengukir prestasi besar karena sudah menunggu lama, 53 tahun. Ingat, Piramida para
Firaun di Mesir, Tembok besar di Cina, Istana Taj Mahal di India, dan Candi Borobudr di Indonesia
adalah monument akan hebatnya karya akal budi manusia – yang diinspirasi oleh roh keberhasilan.
Roh keberhasilan inilah yang memotivasi dan menjiwai Timnas Italia untuk mengukir sejarah di
UEFA Euro 2020.
Selain bermain menyerang, bekerja all out dan total yang dimotivasi oleh roh keberhasilan, filosofi
CARPI dipraktekan di lapangan wembley. CARPI adalah singkatan dari; Costruzione (build up
serangan), Ampiezza (lebar lapangan), Rifinitura (Pemahaman ruang) dan Profondita (penempatan
posisi). Dengan filosofi ini Timnas Italia memperagakan permainan yang sangat berbeda di banding era sebelumnya. Timnas Italia tidak memainkan sepak bola bertahan sehingga menjadi penguasa pertandingan dan jalannya laga. Kesuksesan ini bukan diangun dalam 2 -3 tahun, namun penuh dengan jatuh bangun usai gagal ke Piala Dunia, 2018 hingga kini tampil di Wembley Stadium dengan satu laga penentu gelar juara.
Mari ! Bersama Chiellini mengamini tesis ini, bahwa, “Mancini sebagai pelatih baru Timnas Italia,
tidak melihat kami (para pemain) sebagai beban dan masalah tetapi sebagai sumber daya untuk
bersama meraih kemenangan. Dan bersama, kami bisa.” Lihatlah, “Trofi Piala Eropa 2020 jadi milik
Gli Azzurri.” “Complementi all’italia,” (Profisiat untuk Italia).***