Hati Buruh Sedunia
Metronewsntt.com---1 Mei 2025. Peringatan Hari Buruh Sedunia dijadikan momentum perlawanan Solidaritas Perempuan yang selama 34 tahun bekerja bersama perempuan akar rumput memperjuangkan hak-hak dan keadilan bagi perempuan, khususnya perempuan buruh. Perempuan yang telah kehilangan sumber- sumber kehidupannya akibat ekspansi perkebunan sawit, orientasi pertanian agribisnis, pembangunan infrastruktur serta privatisasi pesisir yang kemudian memaksa mereka menjadi buruh di bawah sistem yang diktator dan penggunaan militer yang mengintimidasi serta mengontrol masyarakat, terutama perempuan yang memperjuangkan hak-haknya.
Indonesia gelap menjadi cerminan dari watak kekuasaan diktator militer Prabowo-Gibran yang memperkuat terjadinya pemiskinan terhadap perempuan dengan pemerintahan autocratic legalismyang menggunakan hukum secara sewenang-wenang untuk kekuasaan. Penguatan peran militer terus dilakukan, salah satunya dengan disahkannya revisi UU TNI. Penggunaan militer oleh korporasi dan negara untuk diperhadapkan langsung dengan masyarakat, termasuk perempuan buruh yang memperjuangkan tanah mereka yang direbut atas nama pembangunan dengan melakukan pembungkaman, intimidasi sehingga mengakibatkan trauma kolektif masyarakat yang berada di lingkaran konflik.
Wadas, Jawa Tengah “Meskipun kami mengalami intimidasi oleh aparat berulang kali, tetapi kami masih melawan dengan membentuk Kelompok Tani Muda Wadas Farm melakukan budidaya pertanian pakan ternak dan peternakan kambing”- Perempuan Petani di Wadas.
Morowali, Sulawesi Tengah “Sebelum ada tambang kami bekerja sebagai petani dan nelayan setelah ada tambang kami beralih sebagai buruh perusahaan bahkan ada yang menjadi buruh pencari besibesilimbah dan sampah plastik. Selain itu, jika kami protes hak-hak keluarga kami suami atau anak yang bekerja di perusahaan akan mendapatkan pemotongan” - Perempuan terdampak PT. Indonesia Morowali Industrial Park.
Makassar Sulawesi Selatan “Pembangunan Pelabuhan Makassar New Port membuat kami terpaksa mencari pekerjaan lain untuk menyambung hidup dan juga mencukupi kebutuhan sekolah anak-anak mulai dari menjadi buruh cuci, baju keliling, hingga buruh pengepul sampah laut.” - Perempuan Nelayan di Tallo.
Teluk Bone Cungkeng Bandar Lampung “Perempuan nelayan terpaksa menjadi buruh perikanan, namun perempuan pesisir Teluk Bone Cungkeng hingga saat ini sulit mendapatkan akses Kartu Kusuka karena dianggap melawan pemerintah akibat penolakan terhadap Proyek Kotaku dan pembungkaman yang dilakukan tidak selalu dengan cara kekerasan tapi dengan menghambat bantuan pemerintah untuk warga Teluk Bone Cungkeng.” - Reni Yuliana, Ketua BEK SP Sebay Lampung.
Meninting, Nusa Tenggara Barat “Pembangunan Bendungan Meninting merusak dan menghilangkan +90 hektar masyarakat, terdiri dari hutan, sawah, ladang, dan pemukiman masyarakat. Pembebasan lahan secara paksa dengan harga sangat murah, dalam prosesnya juga menghadirkan babinsa sehingga masyarakat ketakutan”- Siti Nurhidayati, Ketua BEK SP Mataram.
Seribandung, Sumatera Selatan “Sampai saat ini, tanah kami dirampas oleh PTPN VII Cinta Manis, namun ketika kami bersuara kami dihadapkan dengan pengerahan aparat militer, kekerasan dan intimidasi” - Perempuan Perempuan Pejuang Seribandung.
Lembah Pekurehua Kabupaten Poso Sulawesi Tengah “Contoh skema baru perampasan lahan masyarakat melalui HPL Badan Bank Tanah, yang harusnya tanah Ex HGU di Desa Watutau hanya 550 Ha namun Badan Bank Tanah mencaplok tanah masyarakat 2.840 ha di desa Watutau.
Dalam aktivitasnya Bank Tanah menghadirkan kepolisian, babinsa bahkan Kejaksaan yang mengakibatkan intimidasi yang menekan gerakan masyarakat. Masyarakat juga mendapat upaya kriminalisasi dari pihak BBT, sampai saat ini ada 14 orang masyarakat termasuk 2 orang perempuan yang mendapatkan surat pemanggilan dari Polres Poso” - Ananda Farah Lestari, BEK SP Palu Sumbawa, Nusa Tenggara Barat “Program Food Estate dan mekanisasi pertanian di Sumbawa telah mengubah lahan pertanian rakyat dan kawasan hutan menjadi kebun jagung skala besar yang berorientasi pasar, merusak lingkungan dan deforestasi, memicu banjir longsor, serta memperparah krisis iklim. Perempuan petani, yang selama ini menjadi penjaga pangan dan pengetahuan lokal, kehilangan hak atas tanah dan ruang hidupnya dan tak lagi berdaulat atas sumber pangan, relasi dengan alam terputus, pengetahuan lokal perempuan petani mulai hilang dan kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun terpinggirkan”. - Hadiatul Hasanah, Ketua BEK SP Sumbawa Lhoknga, Aceh “Perempuan petani kehilangan sumber kehidupannya akibat hilangnya wilayah kelola hutan karena pengrusakan hutan seluas 2.087,4 H atas nama pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di hutan lindung yang dijaga masyarakat dan mencegah bencana bagi masyarakat di sekitarnya. Krisis air semakin terjadi karena pengrusakan hutan atas nama investasi untuk kemakmuran rakyatnya” - Rahmil Izzati, Ketua BEK SP Bungoeng Jeumpa Aceh.
Nusa Tenggara Timur “masifnya pembangunan skala besar mengatasnamakan program strategis nasional yang merampas dan menghancurkan ruang-ruang hidup perempuan, mengeksploitasi alam seperti proyek Geothermal dan pariwisata super premium” - Linda Tagie, Ketua BEK SP Flobamoratas.
Kapuas, Kalimantan Tengah “Kabupaten Kapuas menjadi lokasi cetak sawah terluas di tahun 2025 dengan 57,731 hektar tanpa memberikan informasi yang jelas terhadap masyarakat. Pemerintah seharusnya mengevaluasi ulang dan menghentikan proyek-proyek yang menghilangkan ruang-ruang pengetahuan perempuan serta menjadikan perempuan sebagai buruh di tanahnya sendiri.
“- Irene Natalia Lambung, Ketua BEK SP Mamut Menteng.Konawe, Sulawesi Tenggara “Revisi Peraturan Daerah Kabupaten Konawe Nomor 16 tahun 2015 Tentang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Kabupaten Konawe tidak melibatkan perempuan, sementara maraknya perkebunan sawit yang merampas tanah perempuan di Kabupaten Konawe telah memaksa perempuan bekerja ke luar negeri secara unprosedural namun minim perlindungan sehingga rentan menjadi korban perdagangan orang dan pelanggaran hak asasi manusia” - Cristien, BEK SP Kendari.
Sulawesi Selatan “Situasi buruh migran di Sabah, sejak puluhan tahun lalu hingga saat ini mengalami penderitaan. Mereka bekerja dalam tekanan, rasa takut, cemas kena razia, ditangkap. Ditahan dan disiksa dalam rumah merah dengan fasilitas buruk, menunggu deportasi tanpa kepastian” - Suryani, Ketua BEK SP Anging Mammiri.Solidaritas.
Perempuan menilai bahwa situasi berlapis yang dialami oleh perempuan buruh hari ini, merupakan manifestasi dari jalinan kuasa patriarki dan politik ekonomi global. Deregulasi berbagai kebijakan patriarkis seperti UU Cipta kerja telah menciptakan pemiskinan sistemik bagi rakyat Indonesia terkhusus perempuan. Watak otokrasi rezim pemerintahan Prabowo-Gibran termanifesto dengan menguatkan peran militer di semua sektor strategis sehingga semakin memperparah ketimpangan kuasa, peminggiran peran, pemiskinan struktural serta kekerasan bagi perempuan buruh di Indonesia - Armayanti Sanusi, Ketua BEN Solidaritas Perempuan. (**)