WhatsApp Facebook Google+ Twitter BBM

“Tirai Terbelah” Pada Wafat Sang Raja

Metronttdewa.com 19-04-2025 || 13:37:36

Pdt. Saturlino Correia, S.Th., M.Pd.

Metronewsntt.com, --Di episode wafatnya “Raja Orang Yahudi,” dengan hukum Romawi pada tahun 33 M, terjadi serentak juga peristiwa spektakuler, “Tabir terbelah.” Peristiwa ini menggemparkan wilayah Yudea dan sekitarnya bahkan meruntuhkan pamor dan menggoyahkan kedudukan dan kuasa para elite politik dan elite agama. 

 

Tirai (tabir) bait suci di Yerusalem terbelah dari atas sampai ke bawah (lih. Mat. 27:51/ Mrk. 15:38) merupakan peristiwa menyejarah  dan mengandung aneka makna untuk kehidupan religiositas atau iman. 

*Beberapa Pendapat 

Menurut Pierre  Benoit, seorang pakar Alkitab berkebangsaan Prancis, dalam bukunya: The Passion And Ressurection Of Jesus Christ, (New York: 1969) menjelaskan bahwa: Tabir bait suci atau “tirai bait suci adalah lambang penghalang yang memisahkan orang-orang non-Yahudi dari agama Yahudi. 

Dengan pemisahan ini dengan sendirinya menjauhkan orang-orang non-Yahudi, dan tirai ini menjadi pembatas yang kokoh-kuat serta pelindung misteri pribadi dari agama Yahudi, yakni kehadiran Allah (Yahweh)  yang intim di dalam Bait Suci. 

Apabila tirai itu robek (terbelah), maka itu berarti bahwa keterasingan dan ketertutupan dihapuskan, maka ibadah orang Yahudi tidak lagi menjadi monopoli dari sekelompok khusus orang dan jalan kepadanya jadi terbuka bagi semua orang, juga bagi yang non-Yahudi.”   

Ahli Alkitab lain, C. S. Song, teolog berkebangsaan Taiwan mengatakan bahwa “tirai itu melindungi apa yang disebutnya sebagai ‘rahasia mesianik’ yang tidak boleh dibagikan kepada orang lain”. 

Diungkapkan juga bahwa, “Untuk melindungi “rahasia” ini dari terobosan orang non-Yahudi, maka sebuah tirai yang tebal dan berat harus dipasang antara ruangan dalam Bait Suci dan halaman luarnya, yaitu ruang dimana rahasia mesianis ini dijaga begitu ketat oleh para imam.”  

Realitas juga membuktikan bahwa “Sungguh dalam perjalanan sejarah bangsa Hibrani yang demikian panjang, tirai itu memang sangat ampuh untuk menahan segala serangan, akan tetapi pada akhirnya ketahanan tirai itu tidak bisa bertahan, bahkan terbelah dengan adanya peristiwa kematian Yesus Sang Raja segala raja.

*Refleksi dan aplikasi untuk kita

Terbelahnya Tabir atau tirai Bait Allah dari atas sampai kebawah mengandung beberapa makna, di antaranya, pertama, Allah adalah Allah yang tidak bekerja di balik tirai, terpisah dari orang-orang di luar agama Yahudi yang sudah dilembagakan. 

Terbelahnya tirai Bait Suci, berarti mengakhiri suatu perlakuan diskriminatif. Lahir harapan baru bagi orang-orang di luar agama Yahudi untuk mendengarkan Kabar Baik. Ini bukti dari esensi dan eksistensi Allah sebagai Immanuel (Allah bagi semua orang), termasuk yang terpinggirkan (narapidana, pelacur, korban ketidakadilan hukum, dan sebagainya –bdk Mat. 25:36). 

Point kedua, terbelahnya tirai Bait Suci, serentak juga menghadirkan krisis bagi sebuah agama yang telah dengan semangat yang keliru menjadikan Allah sebagai harta milik istimewa yang dimonopoli oleh suatu bangsa atau komunitas keagamaan tertentu. 

Ketika peristiwa itu terjadi, para pemimpin agama Yahudi menghadapinya dengan penuh ketakutan dan kekecewaan, oleh karena tempat ibadah yang diyakini sebagai tempat kehadiran Allah itu kosong. Allah tidak berada di sini, sebagaimana yang mereka ajarkan selama ini. Allah berada di sana, di atas bukit tengkorak. 

Para pemimpin agama Yahudi tidak saja terkejut dengan figur Allah semacam ini, namun keterkejutan itu sendiri teramat menyakitkan, karena sudah pasti mereka harus kehilangan segala privilege-hak-hak istimewa, ketika berhadapan muka dengan Allah yang tersingkir ke dan di salib. 

Point ketiga, terbelahnya tirai Bait Suci, beri bukti bahwa agama gagal tiba pada kesadaran bahwa ia tidak dapat mematok batas/ ruang  gerak bagi Allah dengan segala karya-Nya. bahwa agama-agama harus mengakui kuasa Allah sesungguhnya yang (sering) cenderung dipandang rendah. Dan bahkan lebih tragis lagi, agama sering membuat kesalahan fatal, yakni menganggap bahwa mampu menjelaskan secara tuntas ke-Allah-an dan kehadiran Allah. 

Point keempat, terbelahnya tirai Bait Suci, menjelaskan bahwa Allah di dalam Yesus Kristus dan yang mati pada salib itu (secara fisik manusia itu), bukanlah “yang baru” bagi manusia. Ia adalah Allah yang sudah, sedang dan akan terus berdiri di luar dan bahkan jauh melampaui kerangka teologi agama-agama yang kerap kali secara sadar memenjarahkan-Nya. 

Ia tidak lagi menjadi “milik yang harus dipertahankan” oleh orang Yahudi dan Kristen, tetapi Ia juga menjadi milik agama-agama non-Yahudi dan Kristen malah bagi mereka yang atheis sekalipun (bdk. Yohanes 3:16, Matius 5:45). 

Realitas keterbelahan menyulut juga keberagamaan kita, di mana masih terdapat krisis dalam realitas hidup keberagamaan kita. Ada krisis hubungan antar-agama, krisis kesadaran beragama dan krisis yang berkaitan dengan masalah relevansi dan identitas. Iman terhadap kebenaran tidak lagi menurut agama melainkan dicapai melalui penalaran dan alasan-alasan rasional, dengan mempertaruhkan “kebenaran yang mutlak”. 

Hans Kung, filsuf dan teolog Katolik dari Swiss-Austria, mengangkat ke permukaan realitas beirkut ini, bahwa “Di sepanjang sejarah, masing-masing agama cenderung mengklaim ajarannya sebagai yang paling benar, padahal pengakuan kebenaran (dalam satu agama) meliputi keberanian untuk menyelidiki ketidakbenaran dan membeberkannya dengan jelas”.  

Atas pernyataan Kung ini, kita diajak untuk menjawab pertanyaan reflektif berikut, “Dapatkah setiap dan semua cara dibenarkan demi tujuan religius? Bolehkah agama memerintahkan hal yang tak manusiawi yang jelas-jelasnya menyakiti, bahkan mungkin menghancurkan diri seseorang/ kelompok agama (minoritas) tertentu”?   

Bertolak dari kenyataan-kenyataan adanya kekerasan bernuansa agama (baik verbal dan non verbal) yang masih terjadi sesungguhnya semakin mengukuhkan pernyataan Kung lainya, bahwa “Semua agama berada dalam keadaan krisis, karena tidak mampu memberi jawaban bagi manusia modern tentang persoalan-persoalan etis mereka”. 

Oleh karenanya, kita patut merespon ajakan K.H. Abdurrachman Wahid untuk perlu berupaya mengadakan redefinisi agama, reformulasinya dan mereinterpretasi tentang ajaran dan relevansi agama dengan kehidupan dan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat. 

Ajakan Gus (Abdurrachman Wahid) ini menggarisbawahi “era kabangkitan agama-agama” dimana agama dan para penganutnya sangat perlu dan urgen untuk mengalami perjumpaan dengan mereka yang di “luar”. Itu berarti ada kecenderungan dan kesediaan untuk saling belajar dalam dan dari kalangan berbagai agama sebagaimana diperlihatkan oleh kegiatan-kegiatan dialog dan semacamnya.

Kegiatan demikian teruslah dipupuk sehingga sikap saling curiga menyusut dan menghilangkan ketegangan dalam hubungan antar-agama dan kelompok penganutnya untuk membuktikan religiositas dan sikap profetis untuk menyebarkan kebaikan-kebenaran dan merajut hidup damai harmonis dengan yang lain. (Editor: Al Hayon)*


Baca juga :

Related Post