Saturlino Correia, S.Th. M.Pd
Metronewsntt.com---PARA pemimpin-pejabat daerah setelah dilantik, Kamis (20/2/2025) di Jakarta dikumpulkan untuk menyadari diri –merenung- secara personal, komunal, dan kolektif, memaknai status barunya, jabatannya dan amanah kuasa dari rakyat untuknya. Mereka beretret.
Retret di Lembah Tidar sudah usai dan para pemimpin-pejabat daerah telah kembali ke daerahnya masing-masing. Rakyat menyambut meriah dan dihantar memasuki “istanahnya”. Tersemat nazar yang kuat dan niat tulus untuk melayani, dibawa serta pulang ke daerah masing-masing. Kini, mereka menempatkan diri menjadi pelayan warga bangsanya.
Pertanyaan lanjutnya, “Apakah retret yang dilaksanakan dan dijalankan ini sungguh menjadi starting point dan support sistem untuk aksi nyata apa yang dinazarkan selama periodesasi jabatan kepemimpinan? Rakyat menanti.
Membaca tulisan reflektif bertopik “Pemimpin terpilih dan “Trik” Eisntein” (KabarNTT.id, 9/2/2025), hematku menginspirasi siapa saja sesuai konteks kehidupan, tugas dan karya masing-masing. Ada sejumput pemahaman baru yang dapat dielaborasi dengan nazar dan niat tulus pemimpin-pejabat pasca retret di lembah Tidar Magelang.
Kisah Einstein di ruang kelas, telah mengangkat tinggi kompetensi akal (brilian) dan kompetensi hati (wisdom) yang amat dibutuhkan dalam karya pelayanan. Kiranya kemmpuan ini juga dapat memotivasi para pemimpin-pejabat untuk berkarya bagi rakyat yang telah memenangkan mereka melalui perhelatan pesta demokrasi.
Berkaitan dengan pola pikir ganda yang diriwayatkan pada kisah, “trik Eisntein “Sengaja salah” di kelas membuka horison pemahaman dan aksi kinerja yang membawa sesuatu yang bermanfaat dan dijunjung sebagai prinsip dan pedoman kehidupan.
Pola pikir ganda Einstein mengajarkan untuk bersikap kritis, kreatif dan inovatif dalam menjalankan kepemimpinan. Perlu keberanian menghadapi tantangan dan keluar dari comfort zone, self-thingking, dan atau berpikir menurut perspektif segelintir orang.
Tidak hanya itu, kiranya pemikiran ganda si ilmuwan itu mengilhami untuk berpikir paradoks. Tidak lebih suka membesarkan hal-hal yang negatif dari seseorang walaupun kesalahan itu dalam skala kecil, tetapi sangat perlu membesarkan hal-hal positif dari seseorang walaupun hal-hal itu bersakla kecil namun untuk kepentingan besar. Analoginya sama dengan menghargai atau menghormati dan peduli pada usaha kecil yang berdampak besar.
Nilai positif lain dari cara pikir Einstein dan triknya di depan warga kelas, kiranya mengilhami pemimpin-pejabat untuk berani mencoba melakukan terobosan baru demi kesejahteraan rakyat dari pada tidak melakukan apa-apa karena takut salah.
Sang Maestro di bidang pengetahuan ini mengajarkan untuk memiliki kompetensi akal dan hati dalam memimpin. Sebab dengan kompetensi-kompetensi ini pemimpin-pejabat berhasil memenangkan rakyat melalui kebijakan yang efektif, berpihak dan berdampak.
Tesis terakhir ini sangat mendukung hasil penelitian John Naisbith yang menekankan pemberdayaan kompetensi akal dan hati secara seimbang untuk keberhasilan kepemimpinan. Bersikap bijaksana (lahir dari hati) dalam memimpin juga penting. Jadi harus ada kemampuan menyeimbangkan keahlian dalam berteori dan atau beretorika dengan menghidupinya di ruang pramagtis. Itulah memimpin.
Einstein, yang rendah hati dan tidak menganggap dirinya dewa, dengan “trik sengaja salah”, mau mengajarkan untuk dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Kesalahan yang bermanfaat untuk memperoleh kebenaran sejati, dan kebenaran sejati itu tidak hanya sebatas logika tetapi kebenaran berdasarkan kejujuran hati, yang menyebabkan rakyat mengakui dengan mulut mereka dan percaya dengan hati mereka akan karya-kerja pemimpin-pejabat.
Dalam konteks yang lebih luas dan nyata adalah sangat dianjurkan untuk berhenti membenarkan kebiasaan yang salah dan sebaliknya berani untuk membiasakan kebenaran sejati berdasarkan akal (realisitis fakta dan ril data serta intelek) dan hati (kebijaksanaan).
Efek nyatanya adalah meredam total sampai ke titik minus tendensi korup dari dan dalam diri dan hadirlah di hadapan masyarakat sebagai pemimpin yang inspiratif dan motivator, fasilitator dan komunikator dan bukan total sebagai instruktur dan manipulator. Implementasinya adalah bersikap terbuka dan bersedia mendengarkan suara, pendapat bahkan kritik rakyat demi sebuah perbaikan. Jika terlaksana anda telah menang perang.
Ini bukti pemimpin-pejabat dewasa intelek, dan jauh dari sikap bertahan secara logik intelektual. Ia telah fungsikan telinga, hati dan mulut bagaikan seorang murid yang suka mendengar dan menyimpan informasi-informasi di dalam hati sehingga manakala “membuka mulut” maka yang diucapkan adalah kata-kata bijak, penuh ketegasan yang menciptakan peluang untuk solusi masalah-masalah.
Seperti Einstein, mendengarkan tawa mengejek juga baik agar pemimpin-pejabat sadar posisi tidak sebagai sosok pendikte dan otoritarian tetapi berpihak pada rakyat amat populis tanpa “neko-neko”. Ini lah pemimpin dari, oleh dan untuk rakyat.
Mengutip ucapan Keneth Blanchard, seorang penulis kondang asal AS, bahwa “The key to successful leadership is influence not authority, (kunci kepemimpinan yang sukses tidak dipengaruhi oleh otoritas).
Ucapan sekaligus pernyataan di atas kiranya menyadarkan para pemimpin-pejabat akan tugas yang diembannya kini, yakni memipmpin, memerintah, dan berkuasa adalah panggilan berdimensi spiritual, karenanya perlu rela-sedia “berhati hamba yang melayani”.
Ejawantah pemahaman baru harus jalan, yakni bekerja dengan harmonis dan berfokus pada kepentingan masyarakat. Tidak hanya menjalankan tugas dengan kata-kata tetapi utamanya adalah tindakan nyata. Lahirkan kebijakan yang efektif dan terasa manfaatnya bagi rakyat serta membangun pemerintahan yang efektif.( ***)