Catatan Reflektif , Suswati D. Aldrin
Metronewsntt.com.- BERITA tentang dua perempuan, Marta dan Maria menjadi viral pada zamannya manakala kedua perempuan hebat ini dinilai miris oleh Tokoh Cerita. Perempuan yang satu dipuji dan yang lain dipandang tak layak karena sibuk dengan “urusan-urusan periferi” menurut pengkisah.
Jika meyusuri fakta lapangan maka sangat boleh jadi klaim-klaim yang tampak ke permukaan tidak seimbang, seperti, Marta dinilai “kurang” dan ditegur, sedangkan Maria dipuji. Maria lebih benar, dan Marta berada pada posisi yang ‘tidak enak’ kalau tidak mau menilainya ‘salah’.
Efek viral berlanjut sampai hari-hari ini. Ada kontraversial sikap dari kedua bintang ini dalam kehidupan nyata. Hadir hari-hari ini tendensi buruk dan labeling bersifat “ambiguitas” (tidak ramah tetapi menarik) dikenakan atau dicocok-cocokan apabila kelakuan pribadi dan budi bahasa pribadi atau kelompok tertentu, mirip.
Terkesan ada dikotomi yang termanifestasi pada paham martaisme dan mariaisme. Ada pribadi atau kelompok Marta dan oposannya ada pribadi atau kelompok Maria. Labeling paling krusial dan definitif, berupa ‘salah’ bagi yang masuk dalam kelompok Marta dan “benar” ada pada kelompok Maria.
Sesungguhnya ambiguitas penafsiran dan labeling tidak ada, dan tidak perlu ada karena catatan Yohanes (Yoh 11:5, sebagai sumber pembanding) demikian: “Yesus selaku Tokoh Cerita mengasihi Marta dan kakaknya dan Lazarus. Jadi jelas bahwa MM (Marta dan Maria) sangat dikasihi. Walau nama Marta disebut. Perbedaan penilaian ada pada kisah versi Lukas (Luk 10:38-42).
Pertanyaan reflektifnya, mengapa “nama” Maria tidak disebutkan dalam versi yang dikisahkan Yohanes? Jawaban pertama, karena pernyataan pengkisah dan kisahnya demikian (Maria disebut dengan kakaknya). Jawaban kedua, secara biblis –pada versi Yohanes, karena Marta yang menjumpai Tokoh Cerita, sebelum masuk ke rumah mereka di Betania sedang Maria (sudah dikenal Tokoh Cerita, mungkin Marta belum) sedang berada di rumah.
Ini lagi catatan lain, Maria sudah dikenal Tokoh Cerita karena dia perempuan “terkenal.” Dalam versi dan catatan seorang berdarah Libanon, Kahlil Gibran (‘The Son of Man’/ Putera Manusia, Kleden (Peterjemah), Penerbit; Nusa Indah, 1973), Tokoh Cerita itu pernah berucap ini pada Maria, “Orang-orang lain mencintaimu demi dirinya. Aku mencintai engkau demi dirimu sendiri.”
Maria tersanjung oleh ucapan itu dan sejak saat itu ia merasakan “laksana surya terbenam mata-Nya telah memacung ular naga dalam diriku dan aku menjadi seorang wanita, menjadi Maria.” Ucapan itu menjadikan Maria menjadi Maria yang sesungguhnya yang sealalu menantikan Tokoh Cerita datang melawatinya. Benar, Tokoh Cerita datang ke Betania melawatnya. Ia selanjutnya memuji Maria.
Sedangkan Marta ditegur dan “dinilai” tidak mengambil bagian paling utama atau penting dalam hidup. Hal ini tentu tidak menjadi bukti bahwa si Marta tidak disayang (bdk. Lukas 10:38-42). Rujukan kita pada Wahyu (3:19), menyatakan, “Barang siapa Kukasihi, ia Kutegur dan Kuhajar sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah”.
Jadi jelas bahwa persoalan “ditegur” bukan berarti dibenci, melainkan dikasihi. Marta ditegur bukan berarti Yesus tidak menyukai dia, tetapi justru sebaliknya Yesus, Sang Tokoh Cerita mengasihi dia.
Faktum Marta dan Maria menarik untuk direnungkan karena banyak salah kaprah dalam keberpihakan dan labeling. Ada selisih pendapat seperti ini, kalau Marta tidak siap makanan Yesus tidak makan. Ada juga yang memilih Maria dan mengatakan Maria lebih memilih ada di kaki Yesus dan mencintai Firman dan tidak mencintai makanan, dan sebagainya.
Berdasar pada topik tulisan di atas, kita dapat merajut beberapa pokok kisah dan diaplikasikan untuk hidup dan karya kita, di antaranya,
(1). Yesus datang dalam kesibukan pelayanan kita. Dalam kisah ini Ia masuk ke kampung dan memilih ke rumah Marta. Adakah kemungkinan Maria sedang di rumah Marta dan tidak di rumahnya sendiri. Karena itu Marta sebagai pemilik rumah menerima Yesus di rumahnya.
Beberapa penafsir berpikir begini: kalau mereka tinggal satu rumah dan mereka kakak beradik maka semestinya yang disebut adalah nama puteri yang paling tua. Maka bunyi teks akan serupa ini, “Seorang perempuan yang bernama Maria menerima Dia di rumahnya.”
(2). Ada yang menarik dari kisah Marta. “Marta sibuk sekali melayani.” Ungkapan melayani adalah terjemahan dari kata “diakonos” (= Diaken) artinya pelayan meja. Maka sudah pasti kegiatan utamanya adalah sibuk melayani, sibuk menyiapkan makanan/ santapan/ urusan ‘kampung tengah’.
Ketika Yesus (Tokoh Luar biasa) bertamu di rumah, kiranya yang disiapkan bukan cuma nasi dan lauk. Bisa jadi disiapkan juga hidangan pembuka dan penutup, wine, atau kemungkinan ada juga puding dengan fla coklat, potongan daging domba panggang dan lain lagi.
Sangat boleh jadi, karena hal-hal ini, Yesus menyebutkan, bahwa Marta sibuk dengan “banyak perkara.” Kata-kata imperatif ini memberi bukti, bahwa ada hal yang tidak biasa yang Marta siapkan sebagai diakonia. Marta sangat sibuk melebihi biasanya.
Kejelasan itu ada pada kata-kata Marta sendiri, “Tuhan, tidakkah Engkau peduli kalau saudaraku membiarkan aku seorang diri, surulah dia membantu aku. Ada overload (kelebihan aktivitas) dan melelahkan Marta sehingga ia meminta bantuan, karena Maria sedang duduk manis mendengarkan Yesus.
Kalaupun ini rumah bersama atau rumah sendiri, seorang perempuan dalam tradisi Yahudi yang amat patriarkat siap melayani dengan menyiapkan segala sesuatu yang perlu untuk menjamu tamu bukan duduk mendengarkan (bersua dengan) tamu.
Pada titik ini ketahuliah bahwa perempuan yang dengan sungguh melayani Yesus (tamu yang berkunjung) adalah Maria. Walau seacara budaya ia dinilai sebagai perempuan “kepala angin,” tidak tahu adat dan perusak budaya bahkan dinilai “sok rohani.” Cemburu Marta ada pada titik ini.
(3) Ketika Yesus bersedia mampir, di Betania, Maria menangkap peluang ini. Moment berharga ini tidak dilewatkan. Kisah lawatan yang dinantikan (tulis Gibran) kini sungguh nyata dan hadir untuk dirinya.
Sang idola datang ke rumah, maka apa yang dia buat. Pilihan Maria adalah menjamu tamu istimewa ini dengan duduk manis, bukan cuma mendekatinya tetapi mendengar pengajaran dari pribadi yang sangat masyur ini. Apa reaksi Yesus tentang hal itu, Ia kemudian memuji, kata-Nya, “Maria telah memilih bagian yang terbaik yang tidak akan diambil daripadanya.”
(4) Soal ambiguitas dan labeling sebagaimana yang ditonjolkan di atas. Siapa yang salah dan siapa yang benar? Terjemahan baru Alkitab edisi ke-2 (sesuai teks asli) tidak ada kalimat
“menyalahkan”. Karenanya sikap laku MM alias Marta dan Maria dipandang baik adanya.
Sedangkan ucapan Yesus kepada Marta (pada Luk. 10:41), “Engkau menyusahkan dirimu dengan banyak perkara”, arti pertamanya adalah “terlalu banyak yang dia siapkan,” melebihi keseharian. Kedua adalah situasi emosional dan cemburu melihat sikap Maria.
Memang benar bahwa secara tekstual Maria dipuji karena ia membuat pilihan yang tepat lalu apa yang akan kita refleksikan tentang aktivitas melayani (menjamu) dari dua tokoh perempuan yang hebat ini:
(a) Sikap bijak adalah hal yang utama. Bahwa ada yang utama tapi ada juga yang lebih utama, dan Martha kurang bijak. Benar menyajikan makanan dan konsumsi itu penting karena kehadiran Yesus, maka perlu ada sesuatu yang “waoooo”.
Maka adil kalau Marta menyajikan yang baik itu utama, tetapi sesungguhnya kehadiran Yesus menghendaki yang lebih utama, yakni duduk dan mendengarkan Firman. Perlu dalam hidup ini kita seperti Maria, memanfaatkan kehadiran Yesus untuk menyuburkan pertumbuhan rohaninya.
(b). Fokus pada hal “yang paling utama”. Para pelayan akan memperhatikan hal utama menurut mereka dan dengan itu lupa akan hal yang paling utama.
Dalam konteks biblis, yakin kita bahwa Yesus tidak bermaksud merendahkan perbuatan Marta tapi mau menggiring Marta dari “yang utama” kepada “yang paling utama,” yaitu Firman. Ingat Sabda-Nya, “Manusia tidak hidup dari roti (makanan) saja.”
(c). Memanage (memenets) aktivitas. Yesus datang tiba-tiba dengan misi utama-Nya yakni keselamatan, dengan metode mengajar, dan Maria mengambil pilihan yang tepat.
Menggunakan waktu untuk menjamu Yesus dengan setia mendengarkan, sedang Marta masih dengan konsepnya, yakni sibuk luar biasa dengan aktivitas keibuannya, kesibukan seorang mama.
Jadi memanage dengan baik aksi, dan komunikasi harus jadi perhatian. Karena gagal komunikasi melahirkan penilaian dan teguran yang melabel abadi.***