Suswati D. Aldrin (Penyuluh Agama)
Metronewsntt- Catatan Refleksi: MEMAKNAI kisah biblis untuk kehidupan adalah satu di antara cara untuk mendidik hati dan merefresh hidup keimanan. Pada koridor ini, kisah Matius si Pewarta Kabar Baik secara kontekstual, dan pada zamanya mengangkat dua alat peraga ini, “garam dan terang” untuk tujuan dimaksud.
Jika kisah Matius dikonfrontir dengan konteks kehidupan sehari-hari, maka terbaca ada kesan janggal/ aneh dalam ayat ini. “Jika garam itu menjadi tawar dengan apakah ia diasinkan, (bdk. Mat 5:13-16). Apakah ada garam yang tawar?
Pada ranah kehidupan para chef/ koki, para ibu atau mama yang saban waktu berkutat seputar dapur, dan seturut logika rasa, mereka pastikan, bahwa garam dapur itu asin, dan untuk “terang”, mereka sepakat katakan, “Siap bercahaya bukan digantang”.
Pertanyaannya, “Mengapa “Tokoh” dalam kisah Matius menyampaikan penyataan demikian?” Sudah pasti dan pasti sudah jika pernyataan itu disampaikan di zaman sekarang, ada banyak respon blak-blakan, di antaranya, “Memang ada garam yang tawar?”
Di zaman penulis kisah, pernyataan ‘Tokoh’ dalam kisah itu tidak mengharuskan orang membuat “tanda tanya”, bahkan “tanda tanya” besar atas garam yang tawar itu.
Ceritanya, di zaman penulis kisah, diketahui bahwa Fenesia adalah bangsa yang paling pertama memproduksi garam dengan cara menguapkan air laut.
Ada juga satu tempat di wilayah Israel kala itu dan berdasarkan peta geografis mencatat, bahwa teryata orang Yahudi memiliki garam yang berlimpah di laut Mati, dan laut ini adalah sumber garam bagi mereka.
Tentang garam di Laut Mati, sudah dinubuatkan oleh Zefanya. Pada kisahnya (Zef. 2:9-10) ia sebut daerah Amon dan Moab di sekitar Laut Mati adalah tempat garam dan penggalian garam. Nubuatnya begini, “Moab akan menjadi seperti Sodom dan bani Amon akan seperti Gomora”.
Nubuat Zefanya akan kehancuran Moab dan bani Amon terbukti pada saat Sodom dan Gomora dimusnakan, dan istri Lot yang ada di sana menjadi tiang garam (bdk. Kejadian 19, Kisah tentang istri Lot), dan bukti nyata “Garam tawar,” ada di sana.
Ada metode untuk mengetahui garam (asin dan tawar). Pertama, Air Laut Mati dengan kadar garam yang sangat tinggi, diambil dan dikeringkan (uapkan) dan jadilah garam yang asin sifatnya.
Kedua, cara yang tidak melalui dan atau menunggu proses pengeringan. Bebatuan di sekitar tebing wilayah Moab dan Amon, atau di sekitar perbukitan laut Mati diambil, kemudian bebatuan itu direbus dan terjadilah penguapan.
Proses penguapan dengan tingkat suhu/ panas yang tinggi itu, meninggalkan 2 (dua) elemen/ butiran kristal yaitu beberapa atau sedikit garam dan beberapa butiran termasuk batu besar yang tersisa yang tidak jadi garam.
Kemudian orang melakukan pemisahan batu dari endapan yang melekat di batu-batu itu. Dari pemisahan menghasilkan butiran-butiran garam (sifatnya asin), dan kemudian yang berwarna agak gelap pada bongkahan batu yang besar itu disebut dengan “garam tawar” (dibuang di jalan dan diinjak-injak orang).
“Garam tawar” se-term dengan “Morante” yang punya arti, selain tawar juga berarti “bodoh.” Term “Morante” bisa dianalogikan dengan berpikir bodoh, berkata bodoh, dan bertindak bodoh.
Sedangkan tentang “Terang,” Tokoh dalam kisah berkata, “Kamu adalah terang dunia, kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi, lagi pula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakannya di bawah gantang”.
“Gantang,” bahasa aslinya “modios.” Modios adalah tempayan yang terbuat dari tembikar. Bayangkan saja, ketika pelita sedang bernyala lalu ditutup dengan “Modios” maka sehebat apapun pelita itu, cahayanya terbungkus-tutup, alias tidak memancarkan terang sedikitpun.
Atas fakta ini “Tokoh kisah” dalam Matius, katakan; “Tidak ada seorangpun yang menyalakan pelita lalu menaruhnya di bawah gantang.” Gantang adalah penghalang cahaya (terang) yang dipancarkan pelita.
Bagaimana aplikasi kekristenan hari-hari ini? Apakah seperti (kristal) garam (NHCL) itu, yang melalui proses yang luar biasa atau seperti bebatuan yang terendap dengan air asin yang ketika dipisahkan melalui proses rebusan dengan titik didih yang sangat tinggi kadar garamnya hilang, dan menjadi tawar.
Refleksi berkaitan dengan kekristenan ini menegaskan, bahwa melalui proses yang benar akan menghadirkan “pure garam’’ dan jadilah “garam dunia”. Tetapi manakala iman Kristen terbentuk atau lahir secara instan dalam konteks di atas tidak dapat menjadi “garam dunia.” Karena telah tawar dan dibuang lalu diinjak (tidak dipanutin) orang.
Sedangkan sifat aplikatif kekristenan berkaitan dengan terang atau cahaya itu adalah seluruh
Pola hidup dan perilaku kita di manapun akan jadi bukti apakah kita benar-benar terang! Atau selalu kita tutup bungkus dengan gantang salah, khilaf dan keliru kita saban hari atau karena dosa warisan dan dosa pribadi yang selalu kita junjung dalam perjuangan hidup ini?
Mari, saya ajak untuk katakan: “TIDAK PADA DOSA”. Gantang dosa harus dijauhkan agar tidak menutup “pelita” iman kita dan garam tawar berupa salah, keliru dan khilaf kita yang adalah brand garam asin yang mencemari hidup kekristenan kita.
Mari arahkan pandangan kita kepada kasih karunia Allah kirannya Tuhan memurnikannya dan menyanggupkan kita untuk mengatakan: Tidak pada dosa. Kita hendkanya tidak mudah mudah menole dan atau terikat pada kelemahan dan kesalahan lama kita. Sebagai makhluk kristiani kita tetap menatap, mengingini dan melihat terus, mengarahkan pandangan pada Tuhan, dan tetap mencari Tuhan untuk dimurnikan menjadi “garam dan terang” dunia.(***)