WhatsApp Facebook Google+ Twitter BBM

Samaritan Love, Kasih Tanpa Keterangan

Metronewsntt.com 13-07-2024 || 14:17:53

Suswati D. Aldrin (Penyuluh Agama)

Metronewsntt.com- Catatan  Reflektif: “PENDERITAAN yang dibiarkan, akan terus menjadi derita panjang dan berujung pada kebinasaan raga dan jiwa. Sementara dahaga derita yang mendapat tetesan embun kasih akan bersemikan harapan yang menghantar pada kehidupan.” 

Thesis di atas mendekati prinsip dalam The good Samaritan Law. “Bahwa melakukan tindakan keselamatan dengan dasar kemanusiaan adalah tindakan yang sungguh benar.” Efeknya adalah jika seseorang yang berada dalam kondisi genting dan mampu melakukan pertolongan pertama, maka dia wajib melakukannya-apapun hasilnya. Jika dia hanya diam saja maka dapat terkena sangsi hukum.

“Samaritan Lovers” menjalani prinsip hidup ini adalah kelompok orang yang berbelas kasih, kelompok orang yang tidak memandang latar belakang seseorang yang di tolong, kelompok orang yang menolong orang banyak dan berkorban banyak demi kasih kepada sesama.

Perjuangan dan karya karitatip mereka diinspirasi oleh kisah “Orang Samaria yang murah hati” yang ditulis-kisahkan Pekabar Suka Cita, Lukas (bdk. Luk 10:30-37). Bagi yang telah membaca kisah ini lahirlah pertanyaan berikut; “Apakah tindakan seorang iman dan seorang Lewi yang menghindari orang yang harus ditolong itu, benar atau salah dan harus dikukum?”

Kita coba urai kisah di atas start dari Yerusalem. Sepintas, Yerusalem adalah kota suci, tempat Bait Allah ditahktakan, dan pusat beribadatan sampai saat ini. Katakan Yerusalem adalah jantung keagamaan Bangsa Yahudi.

Sedangkan Yeriko kala itu adalah tempat pemukiman atau layak disebut lokasi rumah-rumah dinas  untuk para pejabat bait Allah, atau tempat para imam tinggal. Jadi sangat besar kemungkinan ketika bertugas ke Yerusalem dan kembali akan melalui rute jalan Yerusalem-Yeriko. 

Konteks topografinya tergambar pada jarak perjalanan 27 km, di sisi jalanan kanan dan kiri sangat terjal dan gelap, serta berhutan. Di sepanjang jalur jalan itu bergelimang banyak penyamun. Banyak orang telah dirampok di situ, bahkan banyak juga yang di gorok.

Atas realita ini disimpulkan bahwa kisah “Orang  Samaria yang murah hati” bukanlah kisah bohong-bohongan, atau suatu dongeng inspiratif, namun ini adalah kisah yang benar terjadi, kisah nyata. Pertanyaan kita lebih menukik adalah “Mengapa mesti orang Samaria yang membantu?” Kita akan mengupas mulai dari perilaku seorang imam dan seterusnya seorang Lewi? 

(1) Imam. Dia mendapat giliran atau tugas keimaman di bait Allah 14 (hari) kali dalam 1 putaran,  jadi untuk dapat putaran berikut melayani di Bait Allah, mereka menanti giliran selama 1 tahun. Karena itu para imam yang hendak bertugas di sana, mereka menyiapkan diri dengan sungguh, karena mereka akan mengambil seluruh tanggung jawab untuk segala urusan di bait Allah, dan bagi mereka adalah suka cita luar biasa ketika tiba saatnya mendapat undian menjanlankan tugas keimaman di Bait Allah.

Konektivitas point-point pada kisah ini berbanding lurus dengan kisah Zakharia, orangtua Yohanes Pembabtis, suami Elisabet yang mendapat giliran jaga dan beroleh penglihatan di Bait Allah waktu bertugas. Flashback kisahnya, “Malaikat Gabriel menampakan diri dan sampaikan padanya berita suka cita, bahwa Elisabet istrimu akan melahirkan seorang anak laki-laki.”

(2) Seorang Lewi. Lewi adalah kaum turunan Lewi, salah seorang dari kelompok pemuji,  pengawal bait Allah. Ia juga betugas berdasarkan giliran atau jadwal jaga. Melayani Bait Allah bagi kelompok ini adalah juga suka cita besar. Mereka melayani 14 hari di bait Allah setelah menanti giliran setahun.

Ringkasnya, baik seorang Imam dan seorang Lewi, mereka adalah pelayan sekaligus petugas keimaman di Bait Allah, di Yerusalem. 

Tokoh Cerita mengisahkan, bahwa di jalur perjalanan Yeriko ke Yerusalam, “Seorang Imam dan seorang Lewi itu menghindar (tidak membantu), ketika melihat seseorang yang dirampok tergelelak “setengah mati,” atau amat sangat parah dan siap menempuh ajal. 

Salahkah mereka? Kitab Imamat pasal 21:1 katakan, “Seorang imam tidak boleh menajiskan dirinya pada mayat, pada orang yang meninggal, siapapun orang yang menyentuh jenasah maka dia disebut najis, dan Kitab Bilangan 19:11 menetapkan tujuh hari lamanya masa najis. 

Karena itu dapat disimpulkan bahwa waktu pelayanan terkurangi 7 hari dari waktu giliran melayani 14 hari bila najis. Risiko mengurangi waktu melayani oleh karena menajiskan diri dinyatakan tidak layak bahkan tidak boleh terlibat dalam pelayanan di bait Allah. 

(3) Seorang Samaria. Tokoh ini tidak ada nama, tidak punya curiculum vitae (CV) atau biodata, cuma disebut “seorang Samaria,” yang dalam kisah ini tampil sebagai superhero. Konteksasi Samaria berarti suatu wilayah dibagian utara yang didiami kelompok orang kelas dua. Mengapa?  Karena mereka dianggap penyembah singkretisme, yakni mengabungkan agama dengan budaya. 

Orang Samaria dipandang sebelah mata (bahkan tidak dipandang) oleh orang Yahudi, Mereka bukan turunan Israel atau Israel asli. Mereka pengkhianat, karenanya derajat orang Samaria ada “di bawah kaki” orang Israel asli,  karena itu mereka tidak pernah dianggap dan tidak pernah dihormati. 

Di Tkp (tempat kejadian perkara),  alkitab membuktikan bahwa seorang Samaria datang, ia tidak menghindar, tetapi memeriksa orang yamg “setengah mati,” barangkali denyut nadinya masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Dia kemudian keluarkan uang yang cukup banyak untuk membawanya sampai ketempat penginapan dan dirawat. 

Walau seorang Samaria itu melakukan tindakan terpuji, tetapi mengucapkan kata “Samaria” saja bagi orang Yahudi yang terepresentasi pada diri ahli taurat, haram hukumnya. Ketika ditanya Tokoh Cerita, “siapakah yang telah menjadi sesama bagi orang dirampok itu?” Ahli Taurat menjawab, “orang yang telah menunjukan belas kasihan kepadanya”. Gampangnya menyebut “orang Samaria”, tapi tidak dilakukan alhi Taurat, karena bagi mereka (orang Yahudi) menajiskan bibir.

(4) Tokoh Ceirta/ Yesus. Sebagai orang Yahudi dia menyebut “Seorang Samaria” dan tidak menajiskan, tidak  haram hukumnya. Sekilas mundur menyimak beberapa perikop sebelumnya, (dalam Injil Lukas 9: 51-56), apa yang terjadi?  Yesus waktu mau masuk Yerusalem, Ia mengambil jalur masuk di kampung orang Samaria. Di sana, waktu mau masuk kampung Samaria, orang-orang Samaria menolak, dan mengusir Yesus. 

Di kisah Yesus dalam bentuk perumpamaan mengenai, “Orag Samaria yang murah hati,” selaku seorang oposan, Yesus harus mengisahkan secara terbalik, misalnya Perumpamaan ‘orang samaria yang tidak berbudi’, ‘Seorang Samaria yang kurang ajar’ dan lain-lain.

Yesus justru tidak merasa kecewa, dendam atau bermusuhan ketika mengalami penolakan dari orang samaria dan tetap melakukan kasih dengan menyebut atau berkisah “Orang Samaria yang murah hati.” 

Aplikasi kisah seorang Samaria dan Yesus selaku Tokoh Cerita, terletak pada “Kasih yang tulus”. “Kasih tanpa keterangan.” Artinya kasih karena ini, atau karena itu, kasih karena ada U dibalik B, dan lsin-lain. 

Kasih atau mengasihi “dengan tulus,” “tanpa keterangan” memanggil kita untuk suatu pelayanan kemanusiaan. Apakah kita yang menamakan diri dan dijuluk orang-orang percaya sudah mampu melakukannya? Atau masih membalas kasih dengan kebencian, dan itu kejahatan, atau sudah beralih dari membalas kebencian dengan kasih, dan hal ini manusiawi dan ilahi sifatnya, serta bukti diri sebagai orang percaya. Kasih orang-orang percaya harus “kasih yang tulus.” (****).


Baca juga :

Related Post