WhatsApp Facebook Google+ Twitter BBM

UTAMA ITU DISIPLIN DAN BUKAN JUGA SOAL SINGLE FIGHTER

Metronewsntt.com 06-01-2022 || 18:46:38

Oleh Vinsens Al Hayon

(Bag. 2)

 Catatan Reflektif Pasca AFF Cup 2020

Metronewsntt.com- SUNGGUH, perjuangan Tim Garuda Muda di AFF Suzuki Cup 2020 tidak semudah ‘membalikan telapak tangan’ untuk meraih posisi juara, dan  hanya menjadi ‘Raja Kedua” sepanjang enam kali pagelaran AFF Cup. Apa mau dikata, ‘That’s reality’. Kita juga tidak bisa bicara datar, bahwa realitas itu disebabkan oleh kehebatan Aleksander Polking, pelatih Asal Jerman untuk Timnas Thailand dan karena kurangberuntung Shin Tae Yong (STY) dalam menukangi Timnas Indonesia. Banyak hal dapat jadi materi reflektif bertolak dari realita AFF Cup 2020 tersebut, point refleksi berikut adalah soal single fighter.

Soal Singel Fighter.

Bicara sukses untuk satu tim atau setingkat organisasi mensaratkan beberapa hal, antara lain pendidikan, organisasi dan disiplin, demikian pandangan E. F. Schumacher dalam bukunya Small Is Beautiful (1973). Atas dasar sarat-sarat ini kemajuan dan kesuksesan dalam bidang apapun dapat didulang termasuk bidang olah raga, dunia persepakbolaan di tanah air, dan lebih khsusus dalam kerangka AFF Cup.

Yang dimaksudkan dengan Pendidikan, yakni segala jenis pengetahuan, ilmu, teori, prinsip, kaidah, pedoman, konsep, ide, gagasan, paradigma dan kita-kiat teknis, yang diperoleh baik lewat pembelajaran formal maupun informal. Sedangkan point tentang Organisasi, lebih berkaitan dengan Keterampilan organisasisional, yakni semua jenis kemampuan mengelola organisasi, dari perencanaan sampai evaluasi dan termasuk di dalamnya semua jenis talenta kepemimpinan seperti visionisasi, pemberdayaan, komunikasi, inspirasi, dan motivasi.

Mengenai disiplin (dalam meraih sukses atau juara). Pada point ini pemahaman dan persoalan akan menyentuh point tentang etos kerja. Yang dimaksudkan dengan etos kerja di sini adalah semua perilaku kerja yang positif, seperti disiplin, kerja keras, ulet, kreatif, imajinatif, efisien, efektif, antusias (juga jujur, hemat dan ramah – dalam bola kaki ‘keras tapi tidak mencederai’), dan sebagainya. 

Menerjemahkan secara lurus ide Schumacher di atas maka ketahuilah kita bahwa sarana dan prasarana menjadi sarat pendukung atau sekunder dan sarat-sarat primernya adalah ketiga komponen yang diulas secara singkat di atas. Ketiga komponen tersebut harus ada secara in se, tersedia dan terus dibangun serta diberdayakan.  

Merujuk pada ideal di atas maka teranglah bahwa pembangunan untuk kemajuan (atau sebut saja industri) sepak bola tidak dimulai dengan barang, tetapi dengan orang: pendidikannya, organisasinya dan disiplinya, dalam hal ini bertalian sangat ketat dengan etos kerja.

Tanpa ketiga komponen ini menurut Schumacher, “semua sumber daya tetap terpendam, tidak dapat dimanfaatkan dan tetap merupakan potensi belaka.” Karena itu jalan keluar yang harus ditempuh untuk raih sukses adalah naikan mutu SDM dan berdayakan serta sokong organisasi profesional dalam bidang sepakbola. Hal ini yang harus segera direspon.

Selanjutnya penerapan opini di atas dalam suatu pertandingan setingkat AFF 2020 adalah menolak strategi “lompat katak” dan “eagles fly alone” untuk mencapai juara pertama. Artinya, di laga sekelas AFF Cup, tidak langsung sekali lompat langsung menggapai final dan/ atau bekerja secara single fighter. Ia harus melalui tahapan-tahapan pertandingan, seperti mulai berjibaku secara tim di fase grup, dan seterusnya sampai final dan juara.

Dalam bahasa bola kaki, untuk bobol gawang lawan, tidak hanya sekali saja melakukan tendangan, tetapi sesuai tahapan dalam pertandingan, yakni untuk hasilkan satu gol butuh tendangan bola dari kaki ke kaki. Ada proses: bola ada di titik tengah (siap kick off), ditendang ke kaki rekan setim dan selanjutnya dan selanjutnya sampai menendang ke “lubang gawang” lawan yang berjala. Buah tendangan dari kaki ke kaki sampai menendang bola masuk gawang lawan, itu lah hasil yang diupayakan: goal tercipta dan nilai didapat.   

Gambaran di atas menujukkan bahwa dalam laga bola kaki, sangat dibutuhkan kerjasama dan bekerja bersama-sama. Didukung juga oleh skill dan visi dalam bermain secara tim dan dalam tim dan bukan karakter egois dan/ atau single fighter (berjuag sendiri-sendiri).

Ingat, First Leg Semi Final melawan Timnas Singapura. Setelah berjibaku alias jatuh bangun menyisir sisi kanan lapangan, Asnawi, kapten kesebelasan Tim Garuda Muda, menendang bola melewati celah kaki pemain lawan dan diterima Witan Sulaeman. Witan kemudian langsung menendang (mengover) lagi ke Asnawi yang sedang berlari. Asnawi menyongsong bola, menggiring selangkah dua dan menendang (mengover) lagi kearah Witan dan Witan langsung menendang ke gawang Timnas Sigapura dan terjadilah gol. Amazing,  dan kedudukan menjadi imbang 1-1.  

Contoh lain kerja sama yang didukung skill dan visi bermain yang luar biasa antara Rumakiek, Witan Sulaeman dan Ricky Kambuaya pada Second Leg Indonesia vs Thailand. Tendangan Kambuaya gagal ditahan atau ditangkap Siwarak Tedsungnoen, kiper Tim Gajah Perang. Selanjutnya kerja sama apik antara Irfan Jaya, Witan Sulaeman dan Egy Maulana Vikri.

Witan mengirim umpan cungkil yang berhasil dikuasai Egy dan dituntaskan dengan sepakan kaki kiri menembus gawang yang dikawal Siwarak. Kedudukan berubah imbang 2-2. Ini contoh sebuah proses, suatu team work untuk menghasilkan gol. Jadi bukan soal single fighter Asnawi menciptakan gol atau Kreasi Egy pribadi dalam menembusi gawang tim lawan dan menjadikan laga itu berakhir imbang.

Kerja sama dan chemestri antarpemain, skill dan visi bermain menjadi hal pertama dalam sebuah laga, dan utamanya adalah naluri pelatih menempatkan pemain dan menerapkan strateginya. Katakanlah: “Apa yang ada di otak pelatih mampu diterjemahkan para pemain - siapa pun pemain- yang diturunkan di lapangan.

Bagaimana penilain kita dari luar lapangan, para pengurus, coach dan para assisten pelatih berkaitan dengan kerja sama, disiplin, chemestri dan visi bermain. Sudah menggapai nilai berapa, jika  rentang nilainya berkisar mulai dari angka 10 sampai dengan 100. Jika belum capai nilai seratus, yakinlah kita ‘pasti bisa’ untuk raih angka 100, sama dengan jadi juara di waktu mendatang. Masih ada waktu, masih harus tingkatkan latihan, latih tanding, asa skill, mantapkan  chemistry dan baharui manajemen persepakbolaan tanah air.*(Bersambung)

 


Baca juga :

Related Post